Aku sering melihat pria itu belakangan ini. Dia selalu datang bersama wanita yang berbeda setiap jam makan siang, tetapi mereka akan berakhir dengan bertengkar dan perempuan-perempuan itu akan meninggalkannya seorang diri.
Pria itu bernama Satya. Kami satu sekolah menengah atas. Satya sangat terkenal dulu, dia dan geng anak nakalnya yang suka membuat ulah. Dulu, Satya terkenal sebagai murid paling badung di angkatan kami. Akan tetapi, itu dulu. Sekarang, Satya jauh dari kata badung. Dia seorang pebisnis muda yang sukses.
"Kamu masih suka bertindak seperti pria brengsek ternyata," sinisku. Pada akhirnya aku memutuskan untuk menghampiri Satya. Sebenarnya, aku sudah tertarik untuk mengusiknya saat pertama kali melihat dia bertengkar dengan teman wanitanya. Bisa dibilang, aku selalu senang ikut campur dalam urusan percintaan orang lain.
Satya mendongak, menatapku dengan alis berkerut bingung. Aku tidak akan tersinggung jika Satya tidak mengingatku, tidak ada yang tahu berapa ratus wanita yang telah dikencani pria brengsek ini.
"Tidak mengingatku?" tanyaku dengan senyum menggoda. Aku duduk di hadapannya, tanpa permisi.
"Hana?" Satya bertanya ragu-ragu. Matanya menyipit seperti berusaha memastikan sesuatu. Rupanya dia masih mengingat namaku.
Aku terkekeh pelan, memujinya dengan sedikit sindiran, "Aku terkesan. Setelah semua wanita yang kamu kencani, kamu masih mengingat mantan kekasih satu minggumu ini."
"Aku tidak mengencani mereka," bantahnya tidak terima. Aku menaikan sebelah alis, menunjukkan ketidakpercayaanku.
"Mereka dikirim oleh Ibuku," jelasnya kemudian. Satya tampak benar-benar jujur dan aku tidak bisa tidak mempercayainya. Akan tetapi, aku masih kesal. Menggunakan kata 'dikirim' untuk wanita-wanita itu, Satya seolah menyamakan mereka dengan barang.
"Dan kamu dengan kejam mengirim mereka semua pergi." Aku membalasnya dengan senyum sinis. Entah kenapa aku kesal saat tahu Satya dan kebiasaan buruknya bermain dengan wanita belum juga berubah.
"Mereka tidak bisa menggantikan Anna."
"Siapa Anna?" tanyaku spontan. Satya tampak menyesal, seolah dia tidak seharusnya mengucapkan apa yang telah ia ucapkan sebelumnya. Saat itu aku tahu aku tidak akan mendapatkan jawaban dari pertanyaanku.
Di luar dugaanku, Satya tersenyum. Dia menjawab dengan suara yang entah bagaimana terdengar sangat lembut dan penuh kasih sayang, "Dia ... kekasihku."
"Kamu punya kekasih, tapi Ibumu masih memaksamu melakukan kencan buta?"
Apa yang ada di pikiranku saat itu adalah bahwa Ibu Satya tidak merestui hubungannya dengan wanita bernama Anna. Sayangnya, aku sepertinya terlalu menganggap pintar diriku.
"Dia pergi. Dua tahun lalu, Anna meninggalkanku begitu saja." Satya menjelaskan dengan suara yang hampir menghilang di akhir. Anehnya, aku tidak melihat kemarahan di matanya, hanya ada kesedihan dan keriduan yang mendalam.
Aku terperenyak, tidak pernah terpikir dalam kepalaku bahwa seorang Satya akan mengalami level patah hati ini. Bagimanapun, dia adalah pria paling dipuja saat kami SMA. Menakhlukan hati wanita adalah keahliannya. Dia selalu bisa mendapatkan wanita manapun yang dia inginkan.
"Mereka bilang aku harus mengikhlaskan Anna, menerima semua berakhir di antara kami ...," Satya berucap pelan. Dia menunduk, seperti sedang berbicara pada dirinya sendiri, "tapi aku tidak bisa. Melakukannya tidak semudah bicara."
Satya benar, mengikhlaskan yang kita cintai pergi tidak pernah begitu mudah. Akan tetapi, bertahan untuk mencintai seorang diri juga masih sangat sulit. Aku mengagumi bagaimana Satya tetap teguh berdiri dengan cintanya untuk wanitanya itu. Dua tahun bukanlah waktu yang singkat. Dulu saat kami di sekolah menengah atas, Satya bahkan tidak pernah bertahan dengan wanita yang sama lebih dari dua bulan. Memikirkan ini, aku menjadi penasaran pada sosok Anna. Wanita seperti apa dia yang bisa membuat Satya jatuh begitu dalam, mengalahkan aku dan wanita-wanita lain di hidup Satya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sepasang Rasa Pahit (Antologi Cerpen)
Short StorySebuah kisah panjang tentang cinta, tentang mereka yang berjuang untuk asa. Surabaya 08.11.18