Lemparan - 1

46 5 2
                                    



Rasa iba muncul begitu saja, saat melihat seorang pengemis yang dihina oleh orang lain. Anto menatap pemandangan itu dari kejauhan. Ia sekarang sedang berdiri di jendela kantor yang sengaja dibukanya berharap udara malam bisa ia rasakan.

"Nto, nggak pulang?" Anto menoleh ke sumber suara. Ia melihat salah satu kerabat kerjanya sedang merapihkan beberapa dokumen yang mungkin akan dibawa pulang ke rumah.

Anto menghampiri,"Mau gimana, kerjaan belum selesai."

"Belum selesai tapi malah ngelamun di  jendela. Ngeliat apa si, Nto? yang begituan?" Ucap kerabatnya sambil terkekeh pelan.

Anto menatap malas orang didepannya ini. Tidak nyambung, itu yang sekarang ada di pikiran Anto. "Yang begituan apa, din?"

Din atau Udin menunjuk ke luar jendela lalu kembali berkutat dengan dokumen yang akan dibawanya.

"Apaan sih?" Tanya Anto geram. Ia tidak mengerti apa yang dimaksud kerabatnya Udin. Merasa tidak penting, ia kembali ke meja kantornya. Memutuskan untuk melanjutkan pekerjaanya yang belum selesai. Siapa tau, ia bisa pulang malam ini.

Udin sudah selesai. Ia merapihkan bajunya yang sedikit berantakan itu. Membawa tas yang berisi dokumen, sembari berjalan pelan kearah pintu.
"Emangnya lu ngga tau?"

Anto mengalihkan pandangannya ke Udin. "Tau apaan? nggak tuh." Ucapnya santai lalu kembali fokus pada kerjaannya.

"Itu, yang suka ketok-ketok jendela. Katanya sih, dari bawah." Jelas Udin panjang.

Lagi-lagi Anton bingung dengan ucapan Udin. Siapa yang suka mengetok jendela saat malam-malam seperti ini? Itu tidak mungkin.

"Ngaco, paling itu dahan kalau nggak ranting pohon." Anton kembali mengelak. Ia tidak percaya dengan penjelasan Udin tadi.

Udin menggidikkan bahunya."Terserah mau percaya atau nggak,yang jelas kalau ada ketokkan mending lu diemin. Jangan di samperin, apalagi di liat kebawah."

Anton memutar bola matanya malas. Memang kenapa kalau ia melakukan itu semua?."Iya, hati-hati lo pulangnya."

"Lo yang harusnya hati-hati. Dah, gue duluan,Nton."

Udin sudah pulang, dan sekarang Anton sendiri di ruangan yang sepi banyak beberapa meja untuk para karyawan termasuk dirinya.

Anton benar-benar fokus pada kerjaannya. Ia berharap pulang malam ini, karena tubuhnya sudah sakit dan matanya juga butuh istirahat.

TOK TOK TOK!

Anton menoleh kearah jendela. Tidak ada apapun,


"Kenapa langsung liat ke jendela, sih?" ucapnya dalam hati.

TOK TOK TOK!

"Nto! tolong ambilin kacamata gue. Ketinggalan,"

Anto menghela nafas lega. Ia berjalan ke arah meja Udin,mengambil kacamata yang dipinta, lalu mengantarnya didepan pintu.

"Kenapa nggak ambil sendiri ke dalem? nyusahin," Ucap Anto kesal. Jelas saja, sudah tau pintu tidak terkunci  dan siapapun bisa masuk. Tetapi, mengapa kerabatnya yang satu ini lebih memilih mengetuk pintu lalu berteriak.

Aneh,




"Males ah, sekalian nakut-nakutin lo. Tapi, dasarnya lo ngga ada perasaan jadi ya gitu." Ucap Udin sebelum ia kembali berjalan pulang.

Anton melihat tubuh Udin yang semakin jauh, lalu tertelan lorong-lorong kantor yang luas ini. Ia berjalan pelan ke arah mejanya. Matanya sudah sangat mengantuk. Tapi, pekerjaanya belum selesai. Mau tidak mau, ia harus memaksa matanya untuk tetap terjaga.



TOK TOK TOK!

Anton menoleh kearah pintu. Ia berdecak, apa lagi yang ditinggal Udin? apa kali ini dompetnya yang tertinggal?

"Din, lu masuk aja. Gue nggak selesai-selesai kalau lu ganggu terus." Anton kembali fokus ke pekerjaanya setelah mengucapkan itu untuk seseorang yang ia yakin adalah Udin.

TOK TOK TOK!!


"Din lo deng—"


TOK TOK TOK!!!

"Nggak lucu, Din. Jangan main-main." Ucap Anton kencang.



Hening,


Tidak ada jawaban apapun. Suara ketukkan tadi menghilang membawa udara yang tiba-tiba terasa aneh.


TAK!  TAK!

Pandangan Anton ke arah Jendela. Ia merasa suara itu berasal dari jendela.


TAK!  TAK!

Batu,

"Siapa yang berani ngelempar batu kesini. Dasar sialan. Pasti orang mabok nih." Gerutu Anton kesal.

Ia berjalan kearah jendela. Membukannya lalu mencari - cari siapa yang berani berbuat seperti itu.

Tidak ada siapapun di balkon samping maupun di atas pohon. Apa batu tadi berasal dari bawah?



















TAK!





"Awh—"





Anton mengusap dahinya yang terkena lemparan itu. Ia mengambil benda yang berhasil membuatnya meringis sakit.





Deg!
















Ternyata ia salah menyimpulkan. Bukan sebuah batu yang sedari tadi terlempar.
Melainkan—








"Kembalikan mata saya, Tuan."







—sebuah bola mata.







END

Friday Night TalesTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang