lost-Jimin

737 36 5
                                    

Langit biru tanpa awan. Semilir angin menyerbu, saling menyapa. Sisa-sisa hujan masih terlihat pada dedaunan, menetes lambat jatuh ke tanah. Mendadak suasana hati Lian berubah. Pilu. Ternyata cuaca lembab menggiringnya pada suasana yang menyesakan dada. Lian berhenti melangkah. Mendongak untuk sesaat sambil menghela napas panjang. Ini berat. Sangat berat.

Kehilangan selalu berpusat pada hidup Lian. Kemana ia pergi, dimana Lian berada dan pada siapa wanita itu percayakan dirinya untuk digenggam erat, mereka tak pernah luput mengikuti. Sampai-sampai Lian tak ingat bagaimana rasanya memiliki. Ah memang, segalanya hanyalah titipan Tuhan.

Untuk sebagian orang ini mengerikan, tetapi tentu tidak ketika Lian mengikhlaskan.

Aku ikhlas, Tuhan.

Sedetik setelah Lian berucap dalam hati, sekejap mata dia memandang, hamparan tanah yang Lian pijak berubah jadi ruangan bergaya eropa. Keterkejutan tak terelakan di wajahnya. Lian berputar di tempat sambil menatap liar satu per satu orang yang kebanyakan sibuk berbincang dan tertawa serta pelayan cafe dengan celemek khas yang terus hilir mudik melewatinya.  Gurat lelah tampak jelas di wajah mereka yang berusaha tersenyum ramah karena tuntutan pekerjaan. Tidak ketinggalan alunan musik dari gesekan biola si pak tua berkumis di sudut cafe yang semakin menghangatkan suasana. Lian nyaris menjerit tak percaya dengan apa yang terjadi apalagi saat------

Ting!

Lonceng pintu berbunyi. Lian berbalik, tercengang secara bersamaan manakala pelayan cafe yang sedang membawa secangkir cokelat dengan asap mengepul tiba-tiba menabrak tubuhnya. Wajar jika kulit Lian melepuh karena panas. Bukan hal yang aneh jika Lian menjerit saking perihnya. Namun, yang terjadi sebenarnya justru berbanding terbalik dengan apa yang Lian khawatirkan. Kedua bola matanya  membelalak tak percaya kala menyadari si pelayan cafe menembus tubuh Lian hingga meninggalkan sensasi mual di perut.

Aneh. Mata Lian menatap kosong pada kaki miliknya yang menyentuh lantai. Apa ini?
Apa Lian sudah mati? Apa arwahnya tak tenang hingga harus bergentayangan seperti ini? Apa----

"Lian! Ahn Lian!"

Belum habis keterkejutan di wajah Lian, seorang pemuda berjaket denim sudah berdiri tepat di depannya dengan wajah berseri-seri. Kedua matanya otomatis tinggal segaris karena senyuman yang kentara lebar. Lian terkesima. Apalagi dengan jarak sedekat itu. Ketika Lian mencoba mensejajarkan pandangan, bibir ranum   si pria menyambut. Lian jadi salah tingkah. Bahkan jantungnya sudah lebih dulu berpacu cepat. Alih-alih Lian bingung harus melempar pandangan ke arah mana, cowok tersebut justru mendekat sampai Lian refleks mengambil langkah mundur karena menghindar. Dan yang terjadi selanjutnya tak jauh beda dengan pelayan cafe tadi.

Cowok itu menembus melewati Lian. Ah, Lian lupa, mana mungkin cowok barusan bisa mencium keningnya meski Lian tidak menghindar 'kan.

"Sudah menunggu lama, sayang?" Cowok berambut abu-abu itu memeluk singkat sosok Lian lain yang membalasnya dengan gelengan disertai senyuman manis. Sampai kemudian, dia menyadari keberadaan gadis lain di sebelah Lian yang sudah menatapnya sedari tadi dengan tatapan terkesima. Dan begitu mereka berdua saling beradu pandang, Lian barulah menyadari ternyata sudah sedari pertama kali Lian memperkenalkan Sian pada Jimin, ada tatapan yang berbeda dari keduanya.

Sian dan Jimin saling mencuri pandang ketika Lian sedang sibuk menulis.

Jim, dia temanku. Namanya, Song Sian.

Lian mengangkat kertas memo tersebut dan menghadapkannya pada Jimin. Jimin tersenyum, menoleh ke arah Sian malu-malu sambil menggaruk lehernya tak gatal.

"Aku ingat ini. Aku ingat hari itu." Lian termenung memperhatikan mereka dari kejauhan.

To be  continue. (Kapan-kapan)


Hai, cek dulu. Ada yang kangen? Ada yang nunggu FF beauty in Seoul nya?

IMAGINE BTS 2018Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang