Hentakan kakiku di lantai terhenti.
"Rik! Hari ini tolong jagain Paman. Ibu sibuk hari ini mau buat kue sama adek," ujar Ibu dari dapur. Tanpa diminta dua kali, aku langsung keluar kamar. Aku sama sekali tidak keberatan. Menghabiskan waktu dengan Paman adalah hal terbaik untuk menghilangkan rasa bosan.
Ya, dia adalah paman terbaik yang pernah ada. Ia selalu menceritakan kisah-kisah inspiratif padaku dan Adek. Kisah yang cukup sulit hanya diceritakan padaku. Takut adek tidak mengerti. Sebagian besar fiksi, memang. Tapi semua kisah Paman tak pernah buruk.
Pintu kamarnya kuketuk. Lalu aku masuk dan langsung melihat senyuman hangatnya yang kerap kali ia palsukan untuk menutupi rasa sakitnya.
"Ibu hari ini mau buat kue sama adek," ucapku. Paman mengangguk. Ia menepuk kasurnya menyuruhku duduk. Aku duduk dengan senang hati.
Tiba-tiba ia tertawa kecil. "Kau menunggu ceritaku ya, anak muda?" Aku tersipu malu lalu mengangguk. Lalu suasana menjadi hening. Aku sudah tidak sabar. Ini saat yang kutunggu-tunggu.
"Baiklah, Nak. Paman akan cerita tentang kisah pribadi Paman sendiri." Aku tersenyum miring. Tema kali ini benar-benar tak pernah disinggung Paman sejauh ini.
"Cerita ini hanya kau saja yang boleh tau. Dan Tuhan kita juga pasti mendengar."
"Semoga ini bukan cerita Paman yang terakhir," ucapnya sebelum memulai.
Dan begitulah, aku kembali berpetualang ke dunia Paman. Walau pada kenyataannya, beliau sudah sakit parah dan hanya mampu berbaring di tempat tidur.
***
Zaman dulu hidup begitu susah di lingkungan Marshal. Semua sumber daya alam digerogoti pemerintah. Pada akhirnya, banyak anak muda yang harus berhenti mengonsumsi ilmu untuk membantu orangtuanya. Padahal mereka adalah harapan bangsa untuk tetap hidup.
Tidak dengan Marshal, ia selalu membaca buku-buku bekas yang halamannya sudah usang. Namun isinya akan membuat hidupnya lebih bermakna. Tak lupa juga sambil mendengar lagu rock dari radio.
"Nak, antar kotak kapur ini ke toko Pak Andri." Marshal mematikan radio dan merapikan buku-bukunya. "Iya, Bun."
"Oh, iya! Tolongin dia beres-beres ya, Nak." Raut wajah Marshal sedikit bingung. "Tokonya kemalingan," balas Bunda.
"Ya ampun," katanya sambil menepuk dahi.
Dan benar saja, ketika sampai di sana, yang dilihat Marshal adalah pemandangan yang sangat buruk. Cat yang dijualnya bertumpahan di mana-mana. Lampunya sudah tak berfungsi lagi. Tak ada satupun orang yang memedulikannya. Semuanya terlalu sibuk mengurusi kebutuhan ekonomi masing-masing yang semakin hari kian buruk.
"Mari, Pak. Saya bantu," ucap Marshal. Ketika menoleh, ia melihat setetes air mata yang mengalir di pipinya. Pak Andri buru-buru berbalik. "Makasih, Nak. Semua orang-orang ini terlalu sibuk dengan pekerjaannya." Marshal tak bergeming.
"Sudah tak berguna lagi aku hidup begini. Kau Nak, kau harapan bangsa ini." Marshal menghela napas. Jarang-jarang orang mengatakan hal itu pada Marshal kecuali Bapaknya.
Tak lama kemudian, toko itu sudah beres kembali. Baunya tak tertahankan. Panas, pengap dan penuh debu.
"Ini, Pak. Dari Ibu," kata Marshal sambil menyodorkan kotak kapur yang dibawanya dari rumah. Pak Andri tertawa kecil. "Sudah tak ada gunanya lagi Bapak mendapat ini. Tapi terima kasih ya, Nak. Kau baik sekali." Marshal tersenyum singkat lalu pergi dari tempat itu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Kisah Untuk yang (Bukan) Terakhir Kalinya
RandomHari ini Paman kembali bercerita seperti biasanya. Tak ada yang berubah kecuali kondisinya yang kian memburuk. Di disitulah aku duduk mendengar kisah-kisahnya. Kisah itu tak pernah kuminta supaya usai. Hanya saja, aku terlalu egois tak mau mendengar...