Inginku seperti, Ibunda Aisyah RA

167 15 7
                                    

  "Zuhra ! cepet, nanti kita terlambat masuk kelas lagi, pelajaran matematika ini loh. kamu mau disuruh nutup pintu dari luar lagi sama Pak Budi ?", teriak Wulan. Teman sekolah,  sekaligus tetanggaku.

Aku yang sedari tadi memainkan tali sepatu langsung bergegas karena mendengar nama guru matematika yang super duper membuat jantungku ingin lepas dari tempatnya.

"Iya, ini sedikit lagi", balasku.
Sesampainya disekolah, aku langsung mengambil nafas panjang, karena harus berhadapan dengan angka-angka di pagi hari. Ibaratnya sebuah kelas yang tentram, tiba-tiba ada singa datang, begitulah di pikiranku.

  Bel istirahat berbunyi, aku jarang sekali pergi ke kantin. Karena di kantin pasti akan berhimpit-himpit dengan laki-laki, dan aku tidak suka itu. Aku lebih memilih ke perpustakaan. Menghabiskan waktu istirahatku dengan membaca.

"Zuhra ih, baca mulu. andaikan buku itu bisa bicara, pasti sudah bosan karena setiap hari harus bertemu denganmu", Teriak Wulan.

"Tidak seperti itu juga Wulan sayang". Senyumku tipis, sambil memejamkan mata.

  Saat aku hendak keluar dari perpustakaan, aku melihat seorang laki-laki yang jaraknya tak begitu jauh denganku. Aku pun menatap matanya.

"astaghfirullah, zuh, sadar". Aku menatapnya terlalu lama, bathinku.

  Sepulang sekolah, aku melakukan ya, semua hal yang menurut teman-temanku membosankan. Apalagi kalau bukan membaca ? Aku suka bacaan apapun. Horor oke, mukul-mukul, oke, semua okedeh. Terkadang, aku membaca sampai lupa waktu.

kringg ...
"oh, hp ku ternyata yang berbunyi". Sedikit tertawa.

"Halo, Assalamu'alaikum. Man Huwa ?
Astaghfirullaah, Innalillahi Wa Inna Ilaihi Rooji'un".

Aku menarik nafas panjang dan membuangnya secara perlahan. "Ya Rabb, apakah ini qodarullah Mu? Aku tak tahu bagaimana caranya memberitahukan kepada Ibuku bahwa Ayah kecelakaan, dan telah diambil olehNya." Bathinku.

****

  Waktu begitu cepat berlalu. sudah 2 bulan semenjak kepergian Ayahku, aku jarang, bahkan hampir tidak pernah untuk tersenyum.
Aku tak begitu dekat dengan Ibuku. Apapun yang terjadi denganku, selalu kuceritakan pada Ayahku.

  Aku bergegas mengambil secarik kertas dan pena. ku tumpahkan semua sesak di dada, yang sudah kutahan selama 2 bulan belakangan ini.

Senyumnya teduh ketika dunia gaduh.
Sejenak bahagia, tanpa luka di dada.
Penahan perih, saat hati merintih.

Oh, Ayah.
Sejenak tawa berakhir duka.
Meninggalkan sejuta kenang dan rintang.
Inginku berkata, namun mulut tak berasa.
Ayah, sosok dirindu, sesak di kalbu.
Inginku bertemu, ku butuh pelukanmu.

  Setelah menorehkan beberapa rasa, aku pun tertidur lelap.

  Esoknya, Aku berusaha seolah tak terjadi apa-apa denganku. Sesak di dadaku ini, perlahan menghilang. "Alhamdulillaah", bathinku. Sejak kepergian Ayahku, aku jadi jarang sekali ke perpustakaan. Buku-buku itu, seketika terlihat biasa saja. Namun hari ini, aku membuang jauh-jauh pikiran tentang buku itu. Aku tetap pergi ke perpustakaan. Saat aku hendak masuk, seorang laki-laki yang dahulu pernah ku tatap, melintas tepat di depanku. Aku pun terdiam, bak patung.
"Hey ! Assalamu'alaikum" Timpalnya.
"Eh, Wa'alaikumussalaam. Saya?" sembari menunjuk wajah.
"Iya, kamu sering ke perpus ?" Tanyanya.
"Iya, cukup sering. Ada apa?" Jawabku.
"Tidak apa-apa, tetapi belakangan ini, aku jarang melihatmu, apakah kamu tidak apa-apa?" Tanyanya kembali
"Ya Allah, jangan baper zuh, jangan." Ucapku dalam hati
"Tidak apa-apa kok", Jawabku tenang.
"Oh, begitu. Aku duluan ya".
"Iya". balasku.

   "Ya Allah, lupa nanya namanya, Zuhra pikun! Sepertinya, aku mulai mengaguminya. Tutur katanya mengingatkanku pada Ayah. Lembut, namun tegas". Kataku dalam hati.

  ****

  Pagi ini, seperti pagi biasanya. Aku selalu berangkat bareng Wulan, temanku. Diperjalanan aku berfikir, tentang kisah Rasulullah dan Aisyah, yang disebutkan bahwa beliau adalah istri Rasulullah dunia, akhirat. Terbesit di pikiranku, betapa mulianya Aisyah, tak hanya didunia, bahkan di akhirat pun beliau menjadi istri dari sang teladan ummat.
Beliau lembut, namun tegas. "Apakah aku bisa sepertinya ?" pikirku.

Oh, Ibunda. Air mata mengucur
Jiwaku melayang, terhanyut dalam kesedihan
Empaskan aku ke dasar kegelisahan

Oh, Ibunda
Aku ingin sepertimu
Eraku, dambakan kehormatan
Tuk hilangkan kebebasan, kesamaan

Duhai pendamping manusia terbaik
Sajakku tak ada apa-apanya
Aku mendamba, kadang lupa sang Pencipta
Kala berkehendak, berkeinginan.

Inginku, seperti Ibunda Aisyah R.A.

 

Karenamu, Madu Terasa Lebih ManisTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang