Allwan mengerjapkan matanya beberapa kali setelah merasakan sinar mentari pagi yang terasa silau di matanya. Ia meraih jam beker nya, lalu mematikan alarm yang sejak tiga menit lalu sudah berdering.
Pukul 7 pagi.
Ia bangkit dan mengusap wajahnya kasar. Pandangannya melebar ke seluruh sudut kamarnya yang sangat-amat berantakan. Beberapa pakaian yang tercecer di lantai dan botol-botol minuman yang berada di samping ranjang dan sudut kamarnya. Kepalanya berdenyut nyeri, mengingat beberapa kejadian yang membuatnya berakhir dengan keadaan yang seperti ini. Ia menyalakan rokoknya. Terlihat kepulan asap yang dihembuskannya lewat hidung terhapus angin dengan cepat.
Cuaca saat ini memang sedang buruk. Ia mengambil sweaternya dan keluar dari apartemen kumuhnya. Terasa tetesan air hujan membasahi rambutnya. Ia berjalan menyusuri kota Pontianak yang memang sedikit kumuh ini. Beberapa hari yang lalu ia memutuskan untuk kembali ke kota kelahirannya, Surabaya, namun hingga saat ini keinginan itu masih belum terealisasi mengingat ia tidak memiliki biaya untuk pulang kampung.
"Angin apa yang membuatmu datang ketempatku jam segini?"
Allwan terkekeh, lalu membalas jabatan tangan orang yang baru saja mengajaknya bicara. "Angin kebutuhan." Balasnya sambil tertawa.
Raihan membawa dua cangkir kopi ke teras rumahnya. Cuaca dingin memang sangat tepat bila meminum minuman yang hangat. "Kau terlihat kacau, bung." Ucapnya memecah keheningan. Allwan menyesap kopinya. "Kau tahu, hidup memang berat" Jawab Allwan membuat Raihan tertawa.
"Ini bukanlah dirimu."
"Keadaan telah berubah."
Raihan kembali tertawa. Ia menaruh koran yang kemarin sore baru di belinya. "Pulanglah, aku yang akan membayar biayanya." Ucapnya terdengar tulus. Allwan menoleh sebentar. "Aku tidak ingin berhutang budi padamu." Katanya sambil tertawa. Raihan membalas ucapan Allwan dengan tawa yang lebih nyaring. "Bukankah kau memang banyak berhutang padaku?" Sejenak suasana menjadi hening. Hanya suara rintik hujan yang mengguyur kota Pontianak pagi yang terdengar.
"Besok sore akan kuberikan tiketnya, kemasi barangmu sekarang." Kata Raihan tanpa menoleh ke arah Allwan sedikitpun. Pria itu hanya terdiam, memandang tetesan hujan yang terlihat lebih menarik daripada obrolan mengenai kepulangannya ke kota kelahirannya.
"Terimakasih atas bantuanmu, aku pulang." Pamitnya setelah di rasa memang itu adalah jalan yang terbaik. Allwan berjalan keluar dari rumah bercat serba coklat itu dengan rasa yang tidak sanggup diartikan.
Betapa beruntungnya ia memiliki teman juga sahabat sekaligus saudara seperti Raihan. Terkadang ia berpikir, bagaimana jika Raihan tidak ada? Bagaimana jika ia sebelumnya memang tidak pernah bertemu dengan Raihan? Tanpa sadar ia menggeleng pelan berusaha menepis semua pikirannya. Langkahnya kembali terhenti saat ia sampai di sebuah kedai kopi. Terlihat seorang wanita dengan rambut yang di gerai indah dan senyuman yang tak pernah lepas dari wajahnya.
"Hai?" Sapanya saat wanita itu tanpa sengaja berjalan keluar kedai. Wanita itu sedikit terkejut dengan kehadiran Allwan yang dirasa tiba-tiba ini.
"Kau?" Allwan tersenyum tipis. Wanita itu kembali berjalan dan memilih untuk mengacuhkan pria itu.
Allwan menarik lengannya dengan cepat. "Sampai kapan kau terus berlari?" Tanyanya dengan gusar. Wanita itu hanya diam tanpa mampu menatap wajah Allwan. Terlihat dari matanya kekecewaan yang mendalam mengenai wanita itu.
"Semuanya berakhir" Kata wanita itu pelan namun sanggup untuk didengar.
"Apa pria itu sudah melamarmu?" Tanya Allwan lagi, membuat wanita itu menatapnya. Hatinya mencelos saat melihat kekecewaan yang sama juga terurai di mata wanita itu. "Li, jawab aku!" Katanya dengan nada menuntut. Liana dengan kasar menyentakkan tangannya hingga terlepas dari cengkraman Allwan, membuat pria itu sedikit terkejut.