Bandung, 9 Agustus 2015Gemricik air yang jatuh begitu riak dan berisik karena bersentuhan dengan seng yang semakin rapuh terkikis olehnya. Harusnya bulan ini hujan belum di izinkan hadir dalam panggung sandiwara semesta. Mengusik makhluk yang ingin berlari riang gembira di bawah sinar sang surya.
Tidak, mungkin kali ini hujan sudah memiliki surat ijin VIP dari Tuhan. Ia di izinkan turun agar dedaunan dan pohon kering yang kehausan dapat melepas dahaga mereka. Sama seperti Rania, yang kini telah lega karena hujan berhasil turun setelah lama ia merindunya.
Banyak orang yang mengatakan Rania adalah perempuan yang lebay, menyukai air dari langit yang nyatanya biasa saja. Air bening yang akan jatuh sesuai dengan masa yang di tetapkan. Air yang sudah di pastikan siklusnya. Tidak ada yang istimewa. Tapi bagi Rania hujan itu sangat romantis dan memiliki banyak makna yang tersirat di setiap detik mereka berjatuhan ke tanh.
"Eh Eyang"
Gadis itu tersenyum kikuk tatkala tertangkap basah sedang duduk di kursi dekat jendela sembari mengulurkan tangannya, bermaksud merasakan sentuhan hujan di dalam genggamannya. Eyang putrinya menggeleng pelan, menatap cucunya yang selalu mengidolakan hujan di kala orang lain menghindarinya. Beliau sangat ingat dulu, setiap kali hujan turun cucunya itu sudah bersiap di depan pintu hendak bermain hujan dan berlarian di pelataran. Entah sudah memegang payung kecil kesukaannya yang berwarna bening dengan motif bulat kuning, atau sudah mengenakan jas hujan biru bermotif bunga kecil berwarna putih pemberian ayahnya.
"Nggak dingin?" Tanya eyang putri yang kini ikut duduk di sisi Rania yang sedang menatap tetes demi tetes air yang jatuh dari langit.
"Nggak kok, hujannya nggak begitu deras. Sebentar lagi pasti reda"
"Hmm, jangan main hujan ya! Eyang mau arisan dulu ke rumah bu RT"
"Yah, Nia nggak boleh ujan-ujanan tapi kok Eyang boleh"
"Eyang kan pakai payung. Kalau kamu niatnya main hujan. Emang mau kalau flu?"
Rania menggeleng lalu tersenyum jenaka, mengalah jika berdebat dengan eyangnya. Lalu ia menghadap ke halaman rumahnya lewat jendela, menatap pemandangan alam yang basah di guyur hujan. Beberapa saat kemudian eyangnya terlihat berjalan keluar dengan memegang payung di tangannya. Semakin jauh menatap, eyang putrinya tak lagi terlihat. Mungkin sudah masuk rumah bu RT yang letaknya lumayan jauh dari rumah nenek, pikirnya.
Yes!
Rania mulai berjingkrak riang, merasa bebas dari ancaman eyang tersayang. Ia mulai berlari kecil menuju pintu samping di mana ada taman yang terbuka di sana. Taman samping rumahnya, ayunan dan sebuah panggok kecil berdiri di sana. Ada berbagai macam bunga yang tumbuh dan berkembang subur berkat perawatan eyang. Eyang merawat penuh kasih, seperti beliau merawat cucunya ini.
Di sana Rania berlarian merentangkan tangan bebas, menengadah menghadap langit yang masih mendung dan menjatuhkan beribu-biru tetes air. Ada guntur kecil, tetapi itu tak menyulutkan niatnya untuk menari bersama titik-titik air yang berada di udara. Ia merasa bebas, hidup dan bahagia. Air adalah kehidupan udara adalah nyawa, dan kini Rania bersentuhan dengan keduanya.
Terkurung di rumah selama 16 tahun bukankah cukup untuk berkata muak? Ya Rania sudah terkurung selama itu, dan sebagai pelampiasan ia akan selalu berlarian seperti ini ketika hujan, diam-diam tanpa sepengetahuan orang. Dan sebelum ada yang melihatnya, ia akan berlari ke kamar mandi dan membilas tubuhnya yang basah kuyup.
KAMU SEDANG MEMBACA
Rania in November Rain
Teen FictionIni adalah ceritaku, sebuah kisah seorang gadis yang sangat mencintai Novembernya yang selalu hadir di peraduan semesta. Rania Novelia Andrea, gadis kelahiran Bandung 1999. Gadis biasa yang sangat gemar bermain gitar di bawah mendung yang sangat me...