Bab 01

96.2K 5.5K 73
                                    

“Makasih, Pak!”


Rawi Baskara mengembalikan helm hijau milik si driver ojol. Kepalanya serasa dipresto dalam helm sepanjang jalan tadi. Rambutnya saja sampai terasa lepek saking berkeringat dan kepanasannya. Lantas, kaki gadis itu buru-buru berderap memasuki gedung kantor.

Panasnya Jakarta hari ini luar biasa!

Puluhan tahun tinggal di ibu kota ternyata tidak membuat kesepahaman dengan matahari. Kadang Rawi masih dibuat tak habis pikir dengan teriknya bintang paling besar di sejagat semesta. Kemeja biru yang dipakainya saja sampai basah karena keringat.

Percuma gue bawa-bawa kipas portable di dalam tas, batinnya. Beda itu hampir tidak ada gunanya.

Awalnya Rawi berharap bisa merasakan angin sepoi-sepoi di atas ojol. Boro-boro merasa embusan angin, wajahnya justru seperti disembur polusi dari asap kendaraan. Sialan!

Mana tetap kena macet, pula! Padahal sudah sengaja naik ojol biar tidak kena macet. Sebab akses ke daerah site visit hari ini memang sering macet. Eh, ujung-ujungnya, malah masih kena macet juga.

Jakarta, oh Jakarta. Kayaknya kalau tidak macet dikit saja, kurang gereget!

Begitu keluar lift, Rawi langsung menuju divisi commercial business.

Jam-jam makan siang begini, biasanya divisi itu lumayan sepi. Apalagi sedang ada in-house training. Beberapa teman Rawi dipastikan tidak ada di tempat karena ikut pelatihan.

“Tumben, cepet?” Tara menyambut kedatangan Rawi. Gadis berambut pendek itu duduk di mejanya yang bersebelahan dengan Rawi. Sebuah sekat setinggi tiga puluh sentimeter berada di tengah-tengah meja mereka. “Gimana?”

Lantas Rawi menghela napas.

Bukan karena pertanyaan Tara, melainkan karena boks Bakmi GM yang dipegang gadis itu.

“Bakmi GM lagi, Ra?” tanya Rawi. Entah kenapa berharap penglihatannya salah.

“Yo’a!”

“Bukan nasi capcay lagi, kan?”

Kali ini Tara meringis.

Mata Rawi sontak membeliak. Gestur Tara seolah mengiyakan pertanyaan gadis itu barusan.

“Kok, bisa dua hari berturut-turut konsumsinya nasi capcay?” tanya Rawi seraya mengecek boks di mejanya.

Dan, isi boks itu beneran nasi capcay, dong!

“Katanya, Pak Eddy yang pesen,” jawab Tara.

Pak Eddy yang itu? Rawi bertanya-tanya dalam hati. Agak ragu, tapi cukup yakin Pak Eddy yang dimaksud Tara tadi memang Eddy Hardinoto si KPBC (=Kepala Pengembangan Bisnis Cabang). 

Semua karyawan di Global Wealth juga sudah tahu tabiat si KPBC. Pak Eddy memang agak… eh, bukan agak lagi, deng. Pak Eddy memang kurang kreatif untuk pemilihan makanan. Beliau hobi “copas” menu, alias pesan makanan yang itu-itu melulu.

Bosan?

Kalau Pak Eddy-nya sih jelas tidak bakal bosan. Namun, anak-anak commercial lain pasti bosan bin bingung.

Love in Credit [DIHAPUS SEBAGIAN]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang