"Sssst, let's play, babe," ujarnya sambil mengusap pipi kanan Rena.
Rena tau kemana ini akan berakhir, ia-pun berontak, berusaha melepaskan cengkeraman Rama. Ia tidak bisa membayangkan dirinya harus kotor karna Rama.
Ia tidak akan pernah sanggup melihat wajah orang tuanha yang kecewa dan sedih melihat anak satu-satunya sudah melakukan hal yang sangat hina.
Ia terus berdoa dalam tangisnya, berharap agar seseorang menolongnya. Terutama Damian dan Julian, ia berharap dua lelaki itu akan datang menyelamatkannya.
"Pergi lo brengsek!!" teriak Rena lagi.
Rama hanya tertawa pelan. Aroma alkohon semakin berusaha menyeruak masuk ke hidung Rena, dan itu membuatnya mual.
"Don't talk just—"
Prang!!!!
"Keluar lo brengsek!!!" seorang lelaki memecahkan kaca mobil Rama, ia lalu menarik pengunci pintu mobil dan menarik Rama keluar.
Tubuh Rama tertarik kebelakang. Barulah saat itu Rena bisa bernafas lega. Nafasnya terpenggal-penggal. Keringat dingin sudah mengalir di sekitar wajahnya.
Air mata Rena kembali menetes. Ya, ia sangat takut sekarang, sangat sangat takut.
Tok ... Tok ...
"Ren, keluar!" Julian terlihat dari depan pintu yang sudah rusak itu.
"Koko!!" teriak Rena dengan suara parau. Buru-buru ia keluar dari mobil dan memeluk erat Julian.
Rena menangis, Julian tau itu. Ia mengusap rambut Rena pelan, berharap Rena segera tenang.
"Ayo ke mobil," bisik Julian sebelum menuntun Rena masuk ke mobil dan memberikannya sebotol air mineral.
Buakk!!!
Satu tonjokkan
"Brengsek!!! Banci!!!"
Buakk!!!
Dua tonjokkan
"Jauhin Rena!!!"
Buak!!!
"Dam! Udah cukup!" Julian menghentikan Damian yang rasanya masih ingin menonjok lelaki brengsek ini.
Nafas Damian memburu, "Jangan deketin Rena lagi! Brengsek!!". Damian berdiri, meninggalkan Rama yang sudah babak belur, Julian mengekori Damian masuk ke dalam mobil.
•••E-99•••
Selama perjalanan pulang, sama sekali tidak ada pembicaraan di antara ketiganya. Kecuali Julian yang memanggil ambulan untuk mengangkut Rama yang mungkin sudah sekarat.
Julian memapah Rena masuk ke dalam apartemen. Sedangkan Damian masih diam, tatapannya tajam dan dingin.
"Minum," Julian menyodorkan segelas cokelat panas kepada Rena yang masih shock dan duduk di sofa.
"Seharusnya lo bisa liat Rama itu brengsek!!" bentak Damian yang berdiri di belakang sofa yang Rena duduki.
Rena diam, ia menyadari kesalahannya. Ia bahkan tidak menyentuh cokelat panas yang di buat Julian.
"Lo tuh polos apa bego sih?!?" bentakan Damian cukup menohok hati Rena. Sebisa mungkin ia menahan tangisnya.
"Dam! Udah ngapa sih? Dia masih shock!" Julian berusaha menenangkan Damian.
"Diem lo! Kalo aja lo gak ngasih izin, pasti gak bakal gini ceritanya!" mulut Julian terkatup rapat.
Rena masih diam, kedua bahunya bergetar. Ya, ia sedang menahan tangisnya sekarang.
"Bisa gak sih lo gak bikin orang khawatir sedikit?!?"
"Damian!!" Julian memperingati temannya itu.
Cukup. Rena tak bisa menahan tangisannya sekarang. Ia tau, ia memang merepotkan, bodoh, dan selalu membuat orang lain khawatir. Setelah menghilang begitu saja dan membuat kedua orang tuanya khawatir, sekarang, ia harus membuat orang lain khawatir juga.
Andai saja ia tidak di kurung di gudang, andai saja rasa penasarannya itu tidak membuat CD aneh itu ia bawa ke dalam rumah. Semuanya pasti tidak akan begini, semuanya pasti akan baik-baik saja.
Ia tidak boleh begini, ia harus cepat pergi, ia tidak bisa harus membuat Damian dan Julian kerepotan. Tidak bisa.
"Maaf," ucap Rena dengan suara bergetar, parau, dan nyaris seperti bisikan.
"Maaf," ucap Rena lagi. Ia merasa, ia harus mengucapkan kata itu sebanyak mungkin, sesuai dengan kesalahannya yang banyak.
"Maaf, karna gue udah bikin kalian khawatir,"
Damian dan Julian terdiam. Suasana malam yang hening, membuat suara tangisan Rena terdengar. Rena merutuki diri sendiri karna ia harus menangis.
"Gue emang bego," ucapnya lagi. Damian mungkin tidak tahan dengan suasana ini. Makanya, dengan cepat ia berjalan keluar dari apartemennya.
"Mau kemana lo?" tanya Julian.
"Hotel." jawab Damian dingin sebelum ia benar-benar keluar dari apartemennya, meninggalkan Julian dan Rena.
Julian duduk di samping Rena. Tanpa ia duga, Rena langsung memeluknya. Tangisan Rena pecah saat itu juga.
Julian bingung harus berkata apa, ia hanya mengusap rambut Rena pelan. Merasakan bajunya yang basah karna air mata Rena. Untuk pertama kalinya ia ada di sisi seorang wanita yang sedang menangis. Ya, kecuali ibunya tentunya.
•••E-99•••
Pagi-pagi Julian sudah bangun untuk membuat roti panggang. Tadinya ia ingin membuat pasta, tapi naas, pastanya tumpah ke bak cuci piring. Iya, gue emang bego kalo di dapur, Julian mengakui dirinya yang sangat payah dalam hal memasak.
Terdengar kursi meja makan yang di tarik. Julian menoleh, ia melihat Rena sedang minum dan duduk dengan pandangan—kosong.
"Pagi!" sapa Julian ramah, meski ia aneh melakukannya.
Rena terlihat mengerutkan dahinya kaget, buru-buru ia mengubah ekspresi wajahnya kembali.
"Ya." jawab Rena singkat.
Kalo mau jujur, ada sedikit perasaan sakit hati alias nyesek hanya di jawab 'iya' oleh Rena. Tapi Julian mencoba bersabar, dan mengerti keadaan Rena yang sedang kacau sekarang.
Ia berjalan mendekati meja makan sambil membawa sepiring roti yang sudah di panggang. Ia juga membawa tiga botol selai dengan beda rasa. Coklat, kacang, dan stroberi.
"Ayo sarapan," Julian menyusun semuanya secara rapih.
Rena mengambil sehelai roti, lalu mengoleskannya dengan selai cokelat. Sementara Julian di sebrangnya, sedang asik mengoleslan selai stroberi, favoritnya.
"Hari ini gabut pasti," buka Julian sebelum menggigit rotinya. Rena hanya menganggukkan kepala. Julian menggerutu dalam hati, karna Rena hanya menjawabnya dengan anggukan.
"Jalan yuk!"
Julian sukses membuat Rena mendongak.
•••E-99•••
A/N
New update!!! Gabut nih di kelas, wkwkwk #curhat
jangan lupa kritik & saran! ^^/
KAMU SEDANG MEMBACA
EXPRESS-99
Dla nastolatków"And then i met you, Rena." •••E-99••• Tidak pernah Rena (16th) duga, kalau ia akan terbang sejauh ini. Terbang melewati tahun dari 2006 ke 2014. Ini adalah kejadian langka untuknya, terlebih lagi ia harus terjebak diantara dua lelaki dewasa yang be...