JANTUNG HATIKU

190 38 15
                                    


Malam begitu indah rembulan menampakkan pesona sinarnya, bintang di angkasa berkedip mesra, satu sama lain saling menampakkan keindahannya saling berpasangan, bermesraan layaknya dua mempelai pengantin baru. Abdi seorang laki-laki yang tak pernah merasakan sekaligus tidak pernah menjalin hubungan cinta dengan gadis siapapun, ia hanya bisa menatap kemesraan bintang di angkasa, namun apakah Abdi bisa menirunya? Lama Abdi menatap langit berbintang ternyata ia jenuh akan suasana sekeliling rumahnya ditambah dengan ujian akhir sekolah menengah pertamanya yang akan dilaksanakan pekan depan, ternyata Abdi mengambil ponselnya kemudian ia menelpon bibiknya di pulau Jawa, Abdi merindukan bibiknya, sudah enam tahun lamanya Abdi tidak pernah bertemu ataupun bicara dengannya. Telepon Abdi terhubung.
"Assalamualaikum" Ucap salam Abdi penuh santun.
"Waalaikumsalam" Jawab penerima. Suara lembut bak kapas dijadikan sutra, membuat hati Abdi berdetak lebih keras.
"Siapa ini? Bibik dimana?" Tanya Abdi pada penerima telepon, karena suaranya bukan suara bibiknya.
"Bibik siapa?" Penerima tanya balik pada Abdi.
"Yang punya Hp ini," Abdi memperjelas dengan pengakuan Hpnya.
"Yang punya Hp ini aku. Kamu siapa?"
"Ini aku Abdi dari Madura" Lentang suara Abdi, berdebar-debar hati Siti ia seumpama ikan menemukan umpan, sementara Abdi terus dilanda tanda tanya. Siapakah gerangan yang menerima telepon? Suaranya merdu bagai suara sanar biola, pudar seluruh rasa masalah Abdi bagaikan membalikkan telapak tangan.
"Ini benar kak Abdi dari Madura?"
"Iya aku Abdi. Ini siapa?"
"Masyaallah kak, kamu tidak ingat padaku. Ini aku, Siti!"
Buyar seluruh masalah Abdi, tak ada yang ia pikirkan, hanya membayangkan wajah Siti seorang. Bila Siti mengeluarkan suara lembut bak kapas dijadikan sutra, Abdi melantunkan suara merdunya bak merpati jantan di atas atap rumah, keduanya saling mengadu rasa rindu, enam tahun lamanya mereka tidak saling jumpa, tidak saling bicara walaupun melalui saluran telepon.
"Kak Abdi sudah punya istri." Tanya Siti di tengah asiknya ngobrol.
"Bagaimana mungkin aku beristri sedangkan adekku masih belum bersuami." Sepontan Abdi menggiur hatinya, Siti seumpama kupu-kupu terbang ke langit tujuh, ia terpesona pada ucapan Abdi. Memberi jawaban membalikkan kata-kata.

****

Satu minggu telah berlalu, waktu demi waktu Abdi lewati tanpa seorang kekasih tidak seperti halnya teman-temanya yang kebanyakan bergandengan walaupun cinta mereka hanya cinta monyet, Abdi hanya ingin fokus pada materi pelajaran untuk dijadikan bekal ujian akhir sekolahnya. Sementara Siti sudah tidak sabar ingin menemui Abdi dan sebentar lagi keluarga Siti akan silaturrohmi ke pulau Madura, rumah Abdi.
Siang berlalu, malam baru datang mengabarkan dunia diciptakan berpasangan, ada siang, ada malam. Akan tiba saatnya tanah Jawa diselimuti kegelapan, lampu-lampu diberbagai rumah sudah mulai dinyalakan, sedang keluarga Siti disibukkan dengan persiapan untuk pergi ke pulau Madura. Saat yang lain disibukkan dengan oleh-oleh yang cocok ke pulau Madura, Siti malah disibukkan dengan berdandan selama mungkin, bukankah Siti seperti Manuhara dinegeri Malaysia walaupun tanpa berdandan, apalagi nanti ketika selesai dandan, seperti apakah dia?
Setelah selesai semua kebutuhan bekal dan oleh-oleh sudah dibungkus barulah mereka berangkat ke pulau Madura. Dengan rasa gembira. Di tengah perjalannya Siti terus memikirkan wajah Abdi. Apakah Siti sudah menanam rasa pada Abdi ataukah hanya penasaran saja? Lepas dari hayalan Siti pun tertidur pulas.
****
Sejak hari pertama Siti berada di pulau Madura tak seorangpun yang ia tanyakan kecuali Abdi seorang, Siti tidak sabar ingin segera bertemu dan melihat asli wajah Abdi, entah kenapa Siti begitu antusias sekali, mungkinkah Siti menyukainya ataukah hanya sekedar ingin tahu saja.
"Kamu yang namanya Abdi ya?" Tanya Siti pada seorang lelaki yang duduk di samping Salman Nawawi.
"Bukan. Aku Bayu, saudaranya Abdi" Jawabnya dengan sambil tersenyum.
"Oow, aku kira kak Abdi. Kemana kak Abdi" Tanya Sitinya.
"Dia baru saja berangkat sekolah" Jawab Bayu.
"Oiya, kok kamu bisa kenal sama Abdi, sedangkan sama aku, kamu tidak kenal, padahal aku dan Abdi sama-sama anaknya ayah?" Lanjut Bayu sambil tersenyum malu-malu di samping ayahnya.
"Gimana ya.. Eeeeemm..." Siti gugup menjawabnya, karena ada getaran yang membuatnya gerogi.
"Sudahlah lupakan saja, tadi aku bercanda kok, mungkin dulu kamu tidak kenal aku disebabkan aku jarang berkomonikasi dengan bibik tidak seperti adikku Abdi, tapi jangan khawatir mulai saat ini kita kenalan" Kata Bayu mendinginkan hati Siti sambil bercanda padanya.
Waktu berlalu, jam dinding sudah menunjukan pukul 10:00 semua perkumpulan sudah mulai raib, satu persatu sudah meninggalkan tempat duduknya, hanya tinggal beberapa orang yang masih duduk dan bercanda karena lama tidak bertemu. Orang tua Siti dan orang tua Bayu saling berbisik nyaring, karena melihat dan mendengar percakapan keduanya langsung akrab seperti sudah lama kenal.
"Adik Siti, mau ikut kakak?" Tanya Bayu mengajak Siti keluar dari perkumpulan keluarganya.
"Mau kemana kak?" Tanya Siti pada Bayu walaupun pertanyaan Bayu belum dijawabnya.
"Ayok ikut kakak kalau mau melihat keindahan pulau Madura" Ucap Bayu mengajak Siti ke suatu tempat yang mungkin begitu indah.
Tanpa bertanya lagi Siti berdiri dari tempat duduknya, mengikuti langkah Bayu, namun sebelum ia beranjak dari tempat berdiri, sebagai wanita yang santu tak lupa ia pamit terlebih dulu pada ayah dan ibunya.
"Yah, bu, aku ikut kak Bayu dulu ya" Ucap Siti seraya pamit pada orang tuanya.
"Iya nak, sana pergi ikut Bayu, barangkali nanti kamu menemukan udara sejuk yang akan membuatmu betah disini" Jawaban sekaligus perintah dari sang ayah, membuat Siti langsung beranjak dari tempat berdirinya.
Suasana indah danau itu begitu sejuk, walaupun matahari menyeringai, seakan menyengat kulit. Siti berjalan santai berdampingan dengan Bayu membuat ia malu yang mau bicara, apa karena belum kenal lama dengan Bayu, tetapi keindahan danau dan kicawan burung membuat lidah Siti mengikuti kicawan burung.
"Kak Bayu, jika boleh jujur, suasana Madura lebih sejuk dari pada suasana tanah Jawa, walaupun Matahari lebih panas disini ketimbang tanah Jawa, disini angin bertiup lebih lembut dan burung berkicau bersahutan walaupun sudah beranjak siang" Ucap Siti menyanjung tempat kelahiran Bayu, sedang Bayu hanya berjalan santai mengikuti langkah Siti disampingnya, dengan senyum ceria tanpa sepatah katapun Bayu ucapkan karena sibuk melihat wajah Siti yang begitu cantik mempesona, kata-kata yang keluar dari mulut manisnya menjaga bibir lembutnya, perlahan Siti mengetahui Bayu bahwa ia telah memerhatikan raut wajahnya.
"Kak Bayu kok segitunya memandangku?" Ucap Siti dengan wajah cemberut karena dari tadi ia bicara sendiri tanpa direspon oleh Bayu, dan ternyata Siti mengetahui bahwa dirinya diperhatikan oleh Bayu.
"Jangan begitulah kak, aku malu" Lanjut Siti judes pada Bayu.
"Oh iyya dik..! maaf, maaf kakak tidak sengaja melihat adik, habisnya adik bicaranya nyeloteh kemana-mana" Ucap Bayu sambil bercanda pada Siti.
"Kak, sepertinya matahari cukup panas, ayok kita pulang, besok pagi kita kesini lagi" Ucap Siti mengajak Bayu pulang.
"Iya dik, ayok kita pulang" Jawab Bayu menyetujuinya.
Setelah mereka menikmati indahnya danau itu, mereka pulang. Rasa penasaran pada danau itu ternyata sudah terbayar tuntas dihati Siti, kini Siti sudah tidak penasaran lagi seperti sebelumnya ketika ia diceritakan oleh Abdi tentang keindahan danau dekat rumahnya. Abdi bercerita dan ingin menunjukan sesuatu di danau itu, tetapi sayangnya Siti tidak bersama Abdi kedanau, harapan dalam hati Siti, ia ingin menikmati keindahan dadau bersama Abdi.
Sampai di rumahnya, Bayu langsung tertidur pulas karena kecapean waktu berjalan dengan Siti, sedangkan Siti walaupu ngantuk ia tetap menunggu kehadiran Abdi. Mungkinkah Siti telah penasaran ataukah ia memendam kerinduan? Bukankah Siti belum tahu pada wajah Abdi. Siti terus menunggu sambil berkumpul kembali dengan keluarganya.
Di tengah perkumpulan mereka, Segeralah tiba Abdi dihadapannya, ternyata ia baru pulang sekolah, namun masih tanpak begitu cerah wajah Abdi seperti purnama matahari. Abdi segera mendatangi perkumpulan Familinya yang baru saja kedatangan tamu dari tanah Jawa, Abdi duduk diantara mereka dengan tatakrama yang ia punya dan tak sia-sia sang ayah mengajarinya. Dengan santun kaki bersila rapat dengan sedikit senyuman tak lupa sebelum duduk ia salaman dan tak bicara sebelum ditanyakan.
"Inikah yang namanya Abdi?" Abdi sampai diperkumpulan, Siti menanyakannya. Apakah Siti memang tidak mengenalinya ataukah hanya pura-pura saja?.
"Iya aku Abdi" Suara menggelegar serak-serak basah, kata orang Madura, membuat Siti tersenyum tuk pertama kalinya di pulau Madura.
Abdi tak mampu menatap wajah Siti, matanya tajam bagai mata rusa, wajahnya bersinar bagai bulan purnama, rambutnya panjang hitam berkilau, pipinya lembut bak kapas yang menawan, bibirnya mirah manis membawa seribu kata-kata yang begitu santun, dikelopak matanya terlihat bulu mata yang begitu mempesona, sekali ia berkedip seisi dunia layu karenanya.
"Adikku Siti, bagaimana kabarmu? Ingatkah kau padaku?" Sambil duduk diperkumpulan, Abdi menanyakan kabar Siti, akankah Abdi mengagumi Siti ataukah hanya sekedar perhatian sebagai sanak famili?.
"Kakakku Abdi, Alhamdulillah kabarku baik, lama kita tidak jumpa banyak perubahan yang kakak miliki, sekarang kak Abdi lebih tanpan dari sebelumnya".
Bila Abdi mengeluarkan jurus perhatiannya hingga membuat Siti berharap. Siti mengeluarkan jurus pujiannya hingga membuat Abdi berdebar-debar hatinya. Keduanya saling mencari perhatian mengadu nasib kerinduan mereka tidak memperhatikan orang-orang yang ada di sekitarnya, termasuk ayah Abdi yang sedari tadi memperhatikan Siti dan Abdi. Apakah keduanya sudah menanam benih-benih cinta? Ataukah hanya sekedar kerinduannya saja?.
Adalah perasaan yang memadukan mereka berdua begitu akrab seperti tinta dan kertas, mereka berkesinambungan dalam satu kata yaitu cinta. Abdi telah menanam bunga cinta yang baru merekah, Siti merawatnya dengan kesetiaan yang ia miliki, namun Abdi belum juga memaninnya. Apa mereka belum siap menjalani cintanya dengan keseriusan dan dibawa ke jenjang pelaminan, sungguh mereka masih kanak-kanak, sangatlah tidak pantas mereka berkecamuk dalam urusan cinta.
Abdi seumpama kupu-kupu dipagi hari terbang mencari kesegaran, Siti adalah bunga yang menanti embun pagi datang. Abdi tidak sabar ingin menghirup aroma segar yang ada dalam bunga nan indah yang baru merekah.
Malam menjelang segeralah mengalir tinta hitam Abdi di atas kertas putihnya, begitulah hobi Abdi menulis dan menulis, tak cukup satu atau dua kertas yang dihabiskan dalam waktu semalam bahkan terkadang lima sampai enam kertas yang ia habiskan untuk menulis dearynya. Minggu lalu Abdi menulis tentang persahabatannya dengan Lutfi, malam ini ia menulis perasaan hatinya pada Siti yang menggebu-gebu dan mungkin Siti adalah cinta pertamanya, ia tidak percaya telah mencintai adik sepupu sendiri.
"Ketika cinta pertama merekah hatiku berbicara dengan keagungannya. Tak ada cinta yang lebih indah kecuali cinta pertama, seperti bergantinya musim kemarau ke musim semi, hujan turun membasahi bumi harum mewangi sejuk abadi. Malampun tak akan sunyi, jangkrik kecil akan bernyanyi, kodok biru membunyikan gendang bagai irama hati, rembulan tak akan sepi bintang turut menghiasi. Kini aku telah menemukan cinta yang aku cari dengan begitu semoga aku bahagia denganmu Siti." Begitu cerdik Abdi berfikir, begitu hebat ia merangkai kata.
Begitulah Abdi menulis rentetan dearynya, ia terus membayangkan wajah Siti yang cantik jelita, berwajah bulat mempesona membuat Abdi tergoda, sekali Siti tersenyum memperlihatkan sungging giginya Abdi mabuk dan terlelap dalam tidurnya.
Malam berganti siang, bunyi jam beker berganti ketukan dari luar pintu, sepertinya ada yang membangunkan Abdi hari ini. Oh gusti mimpi apa Abdi semalam, hingga di pagi hari yang belum sempurna Siti datang membangunkannya.
"Kak Abdi, bangun, pagi sudah hampir hilang. Sholat dulu takut nanti kebablasan, setelah sholat aku punya perlu, aku tunggu di danau sana" Abdi kaget langsung terbangun cepat-cepat membereskan buku dearynya takut ketahuan oleh Siti.
"Iyya dik tunggu kakak disana" Ucap Abdi menjawabnya.
Angin berhembus membawa sejuta keindahan, matahari memperlihatkan silau kemilaunya, seperti wajah Siti yang memancarkan sinar kecantikan. Bila Siti sinar kemilau matahari, Abdi adalah daun yang merindukan. Dari kedipan matanya Abdi mencipta kata, dari bibir manisnya Abdi pun bersuara, dari tubuh gemulainya Abdi melihat keindahan dunia. Di tengah danau nan indah daun menghijau sempurna seperti taman keindahan, keduanya berbicara, ngobrol sambil menikmati suasana pagi dipulau Madura.
"Beruntung kamu lahir di Madura, kak Abdi, pulau yang indah, sejuk, damai dari sosialitas dan muralitasnya sangat terjaga, akhlak pemuda-pemudinya santun sekali, tidak ada satu perempuanpun yang memakai celana pendek atau pun membuka kerudung, gampang mencari orang alim untuk belajar ilmu agama. Lingkungannya ahli takdzim dan patuh pada yang lebih tua" Diselip pembicaraannya Siti memuji Abdi sekaligus tempat kelahiran Abdi, namun ia tidak sedikitpun mengucilkan tempat kelahirannya atau mengubris cacian pada dirinya sendiri.
"Adikku Siti, banyak tempat yang telah Allah berikan pada kita, dari arah barat sampai timur kita bebas berkelana, namun apalah guna kita hidup bila kita tidak mentaatiNya dan menjalankan perintahNya. Terlebih Islam hadir ke dunia dan harum dimuka bumi ini dengan adanya Nabiyyuna, lantas kita harus mencintai dan memberi hadiah padanya." Demikian Abdi berkata. Lidahnya yang tajam bak pedang di medan pertempuran.
"Kak Abdi, bolehkah aku bertanya padamu sekilas tentang wanita, mengingat dirumah banyak wanita yang tidak memakai kerudung tetapi mereka menganggap dirinya wanita yang sudah sempurna. Lantas keraguanku seperti apa wanita yang sempurna itu?" Siti mengayunkan tangannya, melangkah bergandengan dipinggir danau yang dipenuhi rumput hijau membiru, sungging manis dari balik gincunya mengeluarkan kata yang membuat Abdi terlena.
"Adikku, Siti. Wanita soleha adalah wanita yang beriman bahwa Allah Subhaanahu wata'ala adalah RabNya, dan Muhammad Shallallahu 'alaihi wasallam adalah nabi-Nya, serta Islam pedoman hidupnya. Semua nampak jelas dalam perkataan, perbuatan, dan amalannya. Dia akan menjauhi apa-apa yang menyebabkan murka Allah, takut dengan siksa-Nya yang teramat pedih, dan tidak menyimpang dari aturan-Nya, menutupi aurat yang menyebabkan dirinya hina sebab wanita yang soleha pastilah ia yang memakai kerudung." Jelas Abdi berkata memberikan mutifasi sekaligus ilmu pada Siti. Hati gembira perasaan menggebu Siti telah menemukan lelaki yang cerdas dan pintar, apakah Siti mengharapkan Abdi?
"Terimakasih kak Abdi, engkau adalah lelaki pertama yang menggetarkan hatiku, bagaimana mungkin aku bisa melupakanmu nanti ketika aku pulang ketanah Jawa." Dalam perkataannya Siti tidak bermaksud alay pada Abdi, ia adalah wanita yang polos apapun yang ada di hatinya ia ucapkan.
Saat pagi menyapa jendela dunia terbuka memberi kabar tentang cinta memuaskan hati yang sedang bahagia. Bumi bangkit dari tidurnya menampakkan mutiara yang gemerlap, seperti wajah Siti yang bagai gemilau intan permata. Burung-burung saling bersahutan menyanyikan lagu merdu dibalik rindang pepohonan menyambut dunia yang cerah, burung gagak berbunyi keras mengucapkan selamat datang keceriaan, sedang Abdi dan Siti menikmati udara pagi di bawah pohon delima yang dipenuhi buah-buah segar, sepertinya cukuplah matang dan siap untuk dilahap.Tidak lama dari duduk santainya, Abdi berdiri mengambil buah delima itu dan menyuapkannya pada Siti, aduhai romantisnya mereka berdua seperti pasangan dipelaminan tetapi bukankah mereka masih usia muda tidak pantas berpacaran ataupun bermesraan.
"Akankah kita tetap bersama seperti ini kak Abdi, walaupun laut dan gunung memisahkan kita? Semangatku hanya ada dalam dirimu kak Abdi, bila kamu mencoba pergi dan tanpa kabar padaku, maka janganlah kau harap aku bisa bersemangat dalam segala apapun." Benih-benih cinta memang tumbuh terlebih dulu dihati Abdi, namun kata-kata Siti mendahulukan ucapan Abdi, haruskah Siti malu pada Abdi, ketika ia mengutarakan kata yang begitu romantis? Di bawah alam sadar Siti telah mengatakan bahwa dirinya mengharapkan Abdi, sementara itu Abdi tidak bergeming atau bersuara sedikitpun, rasa malu membuatnya bungkam enggan untuk menjawab pertanyaan Siti namun dibalik itu semua, Siti tidaklah mengantang asap, cintanya tidak bertepuk sebelah tangan, dari sinar kecantikannya Abdi menaruh rasa yang cukup dalam dan mengukir kata yang mendamaikan bagai simponi keindahan. Saat Abdi menatap wajah Siti, ribuan kata ingin ia keluarkan namun apalah daya mulutnya tanpa suara.
Nyala api cinta terus berkobar dihati keduanya, hinga mereka lupa akan segalanya dan membuat hati mereka buta, mereka hanya saling menatap memainkan mata. Di hamparan bumi yang membentang luas, cinta pertama dari keduanya tumbuh, dan pohon delima menjadi saksinya. Sempatkah mereka belajar sedang cinta telah mengangkang, bukankah seseorang yang dilanda cinta akan malas untuk belajar?.

****
Waktu berputar begitu cepat, angin menerjang membawa Siti ke tanah Jawa, sedang jiwanya masih bersemayam di pulau Madura menanam biji-biji cinta yang membuat Abdi harus merawat setangkai kenangan dan mungkin nanti akan menjadi pohon kerinduan yang berakar siksa derita namun akan berbuah keindahan. Setelah satu bulan Siti berada di pulau Madura akhirnya ia harus pulang ke tanah Jawa. Sang ayah tiba ke pulau Madura untuk menjemput Siti, sedangkan Siti terus menangis tak ingin kembali ketanah Jawa.
"Kenapa menangis, nak?" Sebagai ayah tidak ingin melihat anaknya bersedih apalagi menangis. Saat itu ayahnya bertanya pada Siti.
"Tidak apa-apa ayah, aku hanya membayangkan bagaimana nanti jika aku berpisah dengan teman-temanku disini, karena sejauh ini di tanah Jawa aku tidak pernah menemukan teman yang ramah seperti temanku disini." Siti berbohong pada ayahnya mungkin karena tidak ingin ketahuan kalau dirinya sedang menangisi Abdi. Tetapi sang ayah sudah mengetahui kebohongan Siti. Bukankah orang tua lebih tahu pada perasaan dan lebih pengalaman dalam asmara.
"Jangan menangis nak, nanti sampai di tanah Jawa kau lebih banyak memiliki teman baru di sekolahmu yang baru" Tutur kata ayah Siti mendinginkan hatinya.
"Maksud ayah apa? Kenapa ayah bilang sekolah baru" Tanya Siti pada ayahnya karena sang ayah menyinggung kata-kata sekolah, Siti tidak tahu maksud ayahnya kalau ia sudah di daftarkan sekolah SMA di tanah jawa.
"Kemaren ayah mendaftarkan kamu sekolah di SMAN 1 Lumajang nak, dan tesannya satu minggu lagi jadi kamu harus pulang untuk mengikuti tes terimanya [uji coba]" Betapa senang hati Siti saat ayahnya memberi tahu bahwa ia telah didaftarkan sekolah. Akhirnya yang semula ia menangis berubah menjadi gembira dan pulang ketanah Jawa.

pergi atau kembaliTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang