Prolog

1.7K 274 20
                                    


Sebenarnya sebuah perpisahan bagi seorang Park Seolhee bukanlah hal yang menyakitkan. Tidak merasa perlu ditangisi atau berharap dapat berjumpa kembali.

Selama 24 tahun ia bernapas, kata perpisahan seperti teman baiknya. Bukanlah sesuatu yang asing namun juga tidak sering menyapanya.

Jika diingat-ingat, perempuan itu pertama kali dikenalkan saat matanya baru saja bisa terbuka. Dunia mengajarkan dua hal sekaligus; kehilangan dan perpisahan.

Dulu dia belum tahu caranya menangis, kecuali erangan nyaring yang tiba-tiba saja keluar karena tahu jika tubuh merahnya tidak akan pernah mendapatkan sumber nutrisinya secara langsung. Sayang sekali, padahal ia menunggu lebih dari sembilan bulan untuk makanan pertamanya. Well, kendati sebenarnya ia sendiri sudah banyak mencuri selama waktu penantiannya.

Itu adalah kehilangan, kali pertama seseorang menghilang karena telah memberikannya satu kehidupan. Lalu yang kedua adalah perpisahan. Ia terima tepat di hari ketiga kelahirannya.

Seseorang yang seharusnya bisa ia panggil papa ikut pergi meninggalkannya. Hanya menyisakannya sebuah tatapan kebencian dan beberapa umpatan sebagai kenang-kenangan. Ah hampir terlupa! Dia juga meninggalkan Seolhee sebuah panggilan khusus; bayi setan.

Lucu sekali, jadi ayahnya bernama setan, ya?

Jikalau saja dulu ia sudah tahu cara menangis, mungkin Seolhee akan menghabiskan stok air matanya. Tetapi mungkin juga tidak. Sebab ketika ia sudah cukup pintar untuk tahu cara menangis pun, dia tidak juga mau mengeluarkan air matanya.

Untuk apa? Menangis tidak menyelesaikan apa pun. Tidak akan menghidupkan jasad ibunya yang telah menjadi abu. Tidak juga mengembalikan suara mengalun ayahnya yang sering ia dengar ketika rumahnya masih di dalam perut. Bagaimana mau kembali, orangnya saja belum tentu masih bernapas.

“Sudah siap, Seol?”

Bulu mata Seolhee berkedip beberapa kali, menatap teduh sosok pria paruh baya yang sebentar lagi akan mengingatkannya kembali pada perpisahan. Dan kali ini sejujurnya terasa sakit.

“Sudah, hanya ini yang akan kubawa.” Matanya melirik ke arah sebuah koper sedang yang telah ia persiapkan sedari tadi. Tidak terasa, ia harus meninggalkan kamarnya secepat ini.

“Kemarikan, biar aku yang bawa.”

Seolhee tidak menolak, ia mundur beberapa langkah dan mempersilahkan pria dengan tangan berlapis kulit tipis itu membawa keluar koper miliknya.

Tidak apa-apa, toh kopernya hanya berisi beberapa potong pakaian. Tidak ada barang lain atau benda-benda bernilai tinggi yang memberatkan.

Saat kopernya telah masuk ke dalam bagasi mobil, Seolhee menggunakan kesempatan terakhirnya untuk melihat sejenak rumah tua yang selama ini menampung dirinya. Sungguh jika boleh memilih ia enggan untuk pergi. Namun kali ini kata terpaksa menjadi alasannya.

“Jaga dirimu baik-baik, Seolhee.”

Dialihkan pandangannya kembali pada sosok pria tua di hadapannya. Dilihat dari segi mana pun, pria itu terlihat menyimpan kesedihan. Oh dan tentu, Seolhee juga merasakannya. Namun perempuan itu justru memilih untuk memberikan senyuman terbaiknya, menutup kelemahannya dengan sedikit kelebihan yang ia miliki.

“Aku akan baik-baik saja, Paman.” Lidahnya terasa kelu saat panggilan yang sejujurnya tidak ia sukai harus terus bibirnya keluarkan. Sesekali ia ingin memanggilnya dengan sebutan ayah, tetapi putri kandungnya pasti akan kembali menyakiti telinganya dengan suara nyaringnya.

HYBRIDSTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang