kamu dan cita-citamu

937 262 75
                                    

kupersembahkan
untukmu,
lelaki paling tampan

---

SUATU hari aku mendapat tugas sekolah yang mengharuskanku untuk mewawancarai seseorang yang memiliki profesi. Kata guruku, profesi apa pun itu, semuanya sama saja; tidak perlu memandang besar kecilnya uang yang didapat. Kata guruku lagi, poin paling penting yaitu perjuangan seseorang itu untuk mencapai sebuah profesi.

Guruku bilang, hari Kamis laporan wawancara singkat sudah harus dikumpulkan di mejanya. Aku seperti orang kebingungan saja yang tidak tahu ke mana dan siapa yang harus kuberi lima daftar pertanyaan.

Lalu tiba-tiba engkau datang. Bertanya padaku soal hal apa yang sedang kulakukan sehingga menyebabkan wajahku terlihat begitu frustrasi. Aku yakin sekali kau pasti melihat raut wajahku yang sudah seperti cacing kepanasan; yang jika terkena panas matahari terlalu berlebihan akan gosong atau bahkan bisa mati. Ah, mungkin saja rambutku memang sudah gosong sekarang, memikirkan tugas yang harus dikumpul satu hari lagi, besok.

Kau duduk di sebelahku lalu mengelus pelan rambut cepakku.  Aku menjawab jujur bahwa aku sedang frustrasi dengan tugas yang sungguh aneh itu; wawancara.
Kau bertanya, menawarkan bantuan, “Bisa kubantu?”

“Tentu saja,” jawabku singkat.

“Apa yang bisa kubantu?” tanyamu lagi.

Aku berpikir sekejap sebelum akhirnya berkata, “Bisakah kau kuwawancarai?”

“Ya, bisa sajalah. Dalam hal apa?”
Buru-buru kubuka catatanku yang berisi daftar lima pertanyaan yang mana akan kulontarkan padamu. Aku membacakan kalimat pertama padamu, dan kau mendengarkan dengan teliti.

“Siapa nama Anda?” Bodoh sekali, aku ‘kan sudah tahu namamu, kenapa juga aku harus bertanya? “Eh—tidak-tidak. Bukan itu. Yang benar yang ini, apa profesi Anda?”

Sejenak kau menatap wajahku dengan raut suram, seolah tiba-tiba saja kau bersedih entah karena hal apa. Padahal, aku sudah tahu apa yang membuatmu tiba-tiba menjadi tidak bersemangat ketika menjawab. Dan kau hanya bisa menjawab, “Tukang kebun.”

“Di mana Anda bekerja?”

“Di SMA N 1 Godean.” Astaga, seharusnya tidak usah kutanyakan itu padamu pun, aku sudah pasti tahu karena ... itu adalah sekolahku.

Karena sejak tadi aku hanya membacakan apa yang tertulis di buku catatanku dengan tanpa pengubahan kata atau kalimat, maka aku pun memutuskan untuk bertanya hal-hal penting saja kepadamu.
“Apakah Anda bangga dengan profesi Anda?”

Engkau menjawab lirih, “Tentu saja. Yang terpenting adalah uangnya halal.” Sementara ketika kulihat ke arah kedua inderamu, kau tidak menatap balik ke arahku. Mungkin saja ... kau malu? Padahal, sejauh ini aku sudah cukup bersyukur ada seseorang yang mau membantuku mengerjakan tugas.

Tahu-tahu aku berubah haluan dengan mengarang pertanyaan sendiri, tidak lagi berpacu dalam teks. “Dulu, apa sebenarnya cita-cita Ayah?”

“Ayah tidak punya cita-cita, nak. Ayah hanya ingin hidup berkecukupan. Itu sudah cukup. Lalu, apa cita-citamu?”

“Menjadi seperti ayah; yang hanya ingin hidup berkecukupan.”

“Baiklah, kalau begitu segera selesaikan tugasmu, nak.” []

---

ditulis ketika gabut,
Jogja, 17 November '18
di musim dingin yang tidak ada saljunya,
Hujan.

—yanti nura

kamu dan cita-citamuTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang