Ada rahasia dalam keluarga kami. Sesuatu yang disimpan nenek dalam setiap lipatan mantel merah, benang jahit dan keliman kain. Rahasia itu berwarna tembaga, "Atau berwarna malam. Gelap dan menakutkan," bisik Elm. Tak terlihat namun bisa dirasakan. Seperti hawa dingin yang diam-diam menerobos ventilasi, dan memberimu gigil yang terlalu.
Aku suka diam-diam menulis dalam catatanku, tentang apa yang kadang bisa kulihat dalam pikiran orang-orang. "Laura ingin sepatu boot warna hitam", "Elm tak ingin kuliah ke luar negeri", "Ru membenci sekolah", atau "Vey berharap bisa menendang bokong si sombong Laura". Semua catatan itu kukunci dalam diari bergembok dan kusembunyikan di bawah tempat tidur. Semakin tahun, jumlah diari itu semakin banyak hingga aku dihadapkan pada dua pilihan. Terus menyimpannya di bawah kasurku atau membakarnya. Aku memilih yang kedua.
Aku membakar pikiran orang-orang.
Tak ada yang tahu kebiasaanku ini, kecuali Elm mungkin, si sepupu yang selalu sok tahu dan kerap berusaha menerobos kamarku. Aku tak pernah menemukan cowok yang sangat tertarik pada rahasia cewek melebihi Elm.
"Mereka itu ... " ujarnya suatu kali, "Seperti kadal."
"Kadal?"
"Ya, ketika kau diam, mereka mendekat, ketika kau bergerak, mereka sembunyi."
"Penyair tidak menyebut perempuan sebagai kadal. Mereka menyebutnya merpati."
"Oh, aku pencinta reptil. Ngomong-ngomong."
Tapi Elm tidak tahu satu hal, aku kadang-kadang benar-benar bisa melihat isi pikiran orang-orang. Melihat, bukan membaca. Kadang-kadang pikiran itu muncul dalam bentuk hologram di atas kepala orang-orang. Seperti ketika aku melihat Laura menginginkan sepatu bot, misalnya, aku melihat hologramnya yang tengah memegang sebuah sepatu di toko. Atau, ketika aku melihat pikiran Vey, aku sungguh-sungguh melihat hologramnya yang tengah menendang bokong Laura. Kadang, aku melihat pikiran itu serupa bayangan di balik kabut atau di balik hujan deras, sehingga aku harus menyipitkan mata untuk melihatnya lebih jelas.
Aku tidak menyukainya.
Tak ada yang tahu betapa tersiksanya aku saat berjalan di tengah koridor yang penuh dengan hologram di atas kepala orang-orang. Aku berlatih untuk tidak melihatnya, karena kadang bayangan itu menganggu. Sebagian di antaranya sangat memuakkan untuk dilihat, sebagian lainnya begitu menakutkan. Aku tidak tertarik berurusan dengan hantu-hantu masa lalu orang lain. Aku punya hantu masa lalu sendiri.
Hantu yang tak ingin kutemui, tapi selalu masuk ke dalam mimpiku.
"Pada suatu masa ..." nenekku pernah bercerita, "Manusia hidup bersama serigala."
Itulah awal mula hantu itu muncul. Di suatu malam, saat hujan deras, dan gelegar petir bersahut-sahutan di atas atap rumah. Jam menunjukkan pukul sembilan malam. Aku ingat betul, karena Elm mengeluh soal cepatnya jarum jam berputar.
"Nenek sudah pernah cerita tentang itu," Elm merajuk.
Tapi padaku belum pernah. Jadi aku memaksa nenek meneruskan ceritanya.
"Ada serigala, kata nenek, juga api dan makhluk-makhluk yang suka masuk ke pikiran orang lain."
Lalu sebuah hologram muncul di atas kepala nenek. Perang, pembunuhan, tikaman, auman. Aku melihat medan perang berdarah di bawah bulan purnama. Serigala-serigala meraung dan manusia berlarian menyelamatkan diri. Itu bukan sebuah cerita. Itu sebuah ingatan! Aku terkejut. Syok. Menjerit. Pingsan. Lalu bangun beberapa jam setelah itu dalam keadaan trauma.
Sejak itu sang serigala kerap muncul dalam mimpiku. Kadang hanya melintas di sampingku, kadang mengirim seringai ancaman. Di kali lain ia bicara.
Saatmu akan tiba!
Saatmu akan datang, Jasmine!
"Kau aneh," ujar Laura di sekolah, "sepertinya kau perlu pergi ke psikiater."
Aku tidak aneh, aku mungkin hanya ....
"Gila!" seru Elm, "Kau gila karena terus menerus menulis tentang pikiran teman-temanmu."
"Apa, Elm?"
"Gila. Kadal cantik yang gila."
**
YOU ARE READING
Red Jasmine
Teen FictionSejak kecil, Jasmine tahu ia bermasalah. Ia bisa melihat ingatan orang-orang dalam bentuk hologram di atas kepala mereka. Lalu suatu malam, ketika ia melihat pertempuran menakutkan antara manusia dengan kaum serigala di atas kepala neneknya, semua h...