Sekolah Kabut (bag. 1)

72 7 3
                                    

Aku tahu, suatu saat aku akan menghadapi ini.
Ruangan bersih yang terang.
Meja persegi empat dari kayu jati.
Rak buku dengan ensiklopedi yang tak pernah disentuh.
Sofa warna hijau muda.
Dan sepasang mata yang menyelidik dari kaca mata bundar.
Juga senyum bulan sabit yang tak ingin kulihat itu.
"Semua yang kau inginkan," ujarnya. Lamat-lamat. Hati-hati. Sikap terjaga, "Cukup jauh dari kebisingan, tapi cukup dekat pada peradaban."
Sekolahku. Itu maksudnya. Kelas sebelasku belum berakhir, tapi aku sudah gonta-ganti sekolah sebanyak tiga kali tahun ini. Sekolah swasta. Sekolah negeri. Tak ada bedanya. Mereka semua menyerah. Aku tak bisa ditangani. Mereka tak menemukan cara untuk membantuku. Aku tidak bisa bersosialisasi. Aku tidak bisa mengangkat mata dari lantai. Aku selalu melihat ujung sepatuku. Aku selalu ...
"Mereka bodoh," ujar nenekku di telepon, "mereka hanya tidak tahu kau istimewa."
Hanya nenekku yang menganggap aku istimewa. Bahkan meski ibu terang-terangan menunjukkan semua nilai raportku padanya.
"Dia tidak bisa memahami apapun," bisik ibu di telepon pada nenek, "Dia tidak mendengar kata-kata guru. Dia tidak melihat papan tulis. Aku sudah membawanya ke dokter spesialis. Dia tidak autis. Dokter juga tidak mengerti."
Tak ada yang mengerti.
Jadi, inilah keputusannya.
Nenek berunding dengan dr. Medy, psikiaterku. Mereka berdua sepakat kalau aku harus terbang sejauh 1100 km, dari Jakarta ke tempat nenekku. Sebuah kota kecil di barat Sumatera. Ada sebuah sekolah yang cocok untukku di situ. Palito namanya. Khusus untuk menampung anak-anak istimewa (atau bermasalah). Sekolah itu tersuruk di lembah, diapit tebing-tebing tinggi. Udaranya segar, ada banyak pepohonan. Sekolah itu sengaja dibuat jauh dari kota untuk-meminjam istilah nenekku-detoksifikasi jiwa. Membersihkan racun-racun kebodohan dan kebrengsekan dalam jiwa anak-anak. Semua pengajarnya memiliki ilmu pedagogi mumpuni. Keahlian mereka ada di kelas utama. Passing grade pengajarnya ada di urutan teratas.
"Mereka hanya menerima guru-guru terbaik," ujar ibuku beberapa hari lalu.
"Dan mereka punya perpustakaan yang besar," sambung ayahku, "Kau suka membaca kan, Jasmine?"
Aku meremas jemari. Sofa yang memuakkan. Meja yang menjengkelkan. Psikiater yang menyebalkan.
"Kau akan memiliki dunia baru," dr Medy melanjutkan. Suaranya kering seperti kerisik daun di aspal, "Pemikiran baru.Sudut pandang baru."
Aku melayangkan pandang jauh ke luar jendela. Orang-orang berlalu lalang di luar sana. Hologram ingatan mereka samar membayang di atas kepala. Aku mengalihkan pandang. Ke bingkai jendela. Ke gorden hijau muda (ujung lipatannya lepas), ke kertas pelapis dinding warna pastel (seharusnya dr Medy sudah mengganti pelapis dindingnya setahun lalu), ke ensiklopedi yang terabaikan di dalam lemari kaca.
"Jasmine?"
Aku memandangnya sekilas, lalu menekuri lantai kembali. Hologram ingatan dr. Medy berputar-putar di atas kepalanya. Ia bersama seseorang kemarin siang. Seorang laki-laki tampan, membawa bunga mawar dan kado. Dr. Medy terlihat bahagia, laki-laki itu juga. Mereka makan siang bersama. Lalu, telepon laki-laki itu berdering. Wajah istrinya terpampang di situ.
Aku tak ingin melihat kenangan siapa-siapa.
Aku tak ingin masuk ke pikiran siapa-siapa. Aku hanya ingin merdeka berjalan di koridor sekolah tanpa melihat hologram ingatan teman-teman sekolahku. Atau guru-guruku. Atau kepala sekolahku. Semua kenangan itu memuakkan. Aku benci melihat rahasia-rahasia terdalam mereka semua. Aku benci pada diriku sendiri.
"Jasmine?"
Aku mengangguk.
"Coba lihat saya."
Aku memandangnya sekilas. Laki-laki dalam hologramnya membungkuk, menyerahkan bunga mawar.
"Ya."
Aku mengalihkan pandang. Aku benci pada Ensiklopedi Britannica dr Medy yang tidak pernah dibaca. Aku benci pada halaman-halaman ensiklopedi itu, yang mungkin lengket karena tidak pernah dibuka.
Alarm konsultasi berdering.
Sunyi sesaat.
"Baiklah. Sampai jumpa, Jasmine."
"Ya."
"Kau tidak lupa kan meminum obatnya."
Aku menggeleng.
Aku berdiri, melangkah ke pintu. Ini akan jadi hari terakhirku di sini. Haruskah aku mengucapkan terima kasih padanya, karena sudah menjadi psikiaterku dalam delapan bulan terakhir? Atau sebaiknya tidak usah, karena dia toh bukan siapa-siapa.
Aku membuka pintu. Ibuku duduk membaca majalah di salah satu sofa.
"Jasmine?" ia mengangkat kepala.
Aku mengangguk, lalu melangkah. Hologram di atas kepala ibu nyaris selalu sama tiap hari. Tagihan, resep masakan, Elm, dan aku. Paling banyak hologram tentang aku. Sejak lama, aku tidak pernah beranjak dari daftar beban hidupnya.
"Semua oke?" tanyanya.
"Oke," aku mengangguk.
"Ada perubahan obat? Dosisnya?"
"Tidak."
"Baiklah," ibuku menghembuskan napas. Tidak tahu itu napas sesak atau lega.
"Mau pulang atau singgah di YamMie dulu?"
"Pulang."

Red Jasmine  Where stories live. Discover now