Katanya masih seperti katak dan kodok yang melolong dipinggir sawah. Lalu mengapa masih menjadi beda di hati? Eh, padahal dia itu cuma secuil dari seni yang aku rasakan. Sebuah rasa yang aku sebut kopi pahit. Nah, itu yang menjadikan aku ruwet. Meskipun angin membela sesuatu yang aku tidak suka setidaknya api masih membakar tetangga. Waduh! Keliru. Maksudnya menjadi kerudung hitam di tepian pantai kemarin.
Kemarin aku sempat bertemu seseorang. Dia berkata begini dan begitu. Lah, bingungkan?
"Utekmu iku kendho ta?"
"What the .... Aku normal ya!" Aku menaikkan nada bicaraku menimpali suara itu.
"Gak percaya kalau inimu sudah konselet!." Dia membalasku sambil menitik kepalaku dengan jari telunjuknya.
"Heh. Anumu itu mas. Bermasalah. Paling pas ndangak gak kelakon." Nimpali dia
Dia terlihat dari bayangannya di tembok. Aku mengamati dia membawa naskah. Entah apa yang dilakukan si empunya bayangan itu. Melahap skripkah?
"Aku mumet."
Nah itulah yang menjadi sorotan yang tidak pernah aku lakukan persis si empunya bayangan di tembok itu. Om Kumis.

KAMU SEDANG MEMBACA
THE TEH
Teen FictionKisah Islami dari Tanah Jawa. Komedi cinta yang sehat. ..... Adalah kisah antah-berantah dari sebuah hati yang kunjung pasti. Penuh awan dan debu. Kadang hujan, kadang juga berderu salju. Pancaroba suasana yang tidak tentu. Akankah semua masih saja...