Dua tahun lalu aku duduk di bangku kelas sepuluh. Tahun pertamaku dengan seragam putih-abu-abu. Ayahku seorang dosen. Ibuku adalah ibu rumah tangga dengan usaha kue kecil-kecilan sekedar mengisi waktu luang. Kakak perempuanku tinggal di luar kota dan bekerja di perusahaan yang cukup terkenal.
Bahagia? Tentu saja. Semua terasa menyenangkan bagiku hingga sebuah kejadian merenggut semuanya dalam sekejap mata.
Waktu itu adalah hari penerimaan rapor. Aku juara satu. Senang? Sangat! Aku tak sabar menunjukkannya pada Ayah dan Ibu. Mereka tengah berada dalam perjalanan menjemputku.
"Cepat, Ayah! Sekolah sudah mulai sepi! Pokoknya cepat!" Aku menutup telepon begitu saja, kesal. Sudah setengah jam menunggu, tapi, Ayah bilang masih terjebak macet.
Hari itu aku terus menunggu dengan perasaan dongkol. Menggerutu kesal. Kemudian ada sebuah telepon masuk dari Ayah.
"Ayah! Aku-" Kata-kataku terhenti ketika suara diseberang sana menginterupsi. Itu bukan suara Ayah atau Ibu.
Dia mengatakan tentang kecelakaan, rumah sakit, tewas, dan.. entahlah. Tiba-tiba duniaku gelap.
Hari itu Kakak pulang. Semua keluargaku berkumpul. Semua menangis, termasuk Kakak. Aku tidak.
Kesan terakhirku benar-benar buruk.
Jangan-jangan mereka meninggal karena aku? Karena aku menyuruh Ayah cepat datang dan ngebut.
Iya. Polisi bilang mobil Ayah dan Ibu melaju cepat kemudian tertabrak oleh mobil lain yang dikendarai oleh seseorang yang katanya tengah mabuk.
Orang itu tersangkanya.
Tapi, mungkin saja kalau Ayah mengendara lebih pelan hal ini tak akan terjadi.
Mungkin saja mobil itu akan menabrak mobil lain atau justru pembatas jalan.
Iya.
Ini salahku.
Aku yang membunuh Ayah dan Ibu.
Semua salahku.
Aku bersalah!
Setelah kejadian itu, aku rutin mengunjungi psikolog selama beberapa bulan. Kakak dan keluargaku yang memaksa.
Entahlah. Aku juga tak mengerti apa yang terjadi ketika itu. Rasanya kepalaku benar-benar kosong. Hanya berisi perasaan bersalah.
Dan setelahnya, aku sembuh. Itu yang perempuan berjas putih katakan. Namanya Lisa. Dia baik. Sedih rasanya saat tahu kalau aku sudah tak perlu mengunjunginya lagi. Aku menyukainya.
Kemudian aku tinggal dengan Kakakku di rumahnya. Meninggalkan rumah bersejarah milik keluarga kami. Pindah sekolah. Hidupku terasa benar-benar baru. Diriku yang baru.
Yah, ini tidak buruk.
Tok. Tok. Tok.
Ketukan di pintu rumah mengalihkan lamunanku.
Aku beranjak dari sofa. Itu pasti pizza pesananku. Makan malamku.
Benar saja. Aku segera menyerahkan uang pada pemuda--yang usianya kurasa tak jauh beda dariku--dan menerima pizza ukuran medium pesananku.
"Di rumah sendiri?" tanyanya sambil mengambil kembalian untukku. Sekedar basa-basi mungkin.
Aku mengangguk sambil tersenyum tipis. "Ya."
Kakak sudah berangkat tadi pagi. Dia mengantarku ke sekolah sebelum berangkat ke kantornya sendiri.
Pemuda itu menatapku sambil menyerahkan uang kembaliannya. Aku menerimanya. Tapi, pemuda itu tak juga beranjak dari depan pintu rumahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch
HorrorAku tidak bohong. 'Sesuatu' itu menyentuh tubuhku saat aku tidur! (Belum revisi)