Suara brak cukup keras terdengar ketika aku menutup pintu rapat, mengabaikan, mungkin, tatapan kesal dari Ketua Kelas dibaliknya. Aku bersandar, mengatur napasku yang berantakan setelah berlari secepat kilat memasuki rumah, tanpa berterimakasih. Menatap interior yang kukenal, aku mulai merenung saat jantungku sedikit demi sedikit kembali normal, bersama kesadaranku yang kembali memadat. Semoga saja Ketua Kelas mempertimbangkan kemungkinan trauma yang kumiliki, sehingga setidaknya takkan ada tambahan mulut tajam yang membicarakanku setelah ini. Walaupun aku tahu dia bukan tipe yang seperti itu.
Kalau dipikir-pikir aku memang tak tahu diuntung. Meski bukan inisiatifnya sendiri, Ketua Kelas yang saleh itu, yang lebih memilih sepeda diantara banyaknya transportasi keren abad ini, telah memboncengku dari sekolah sampai depan rumah melawan teriknya matahari.
Aku menyingkirkan tas di pundakku sembarangan lalu berjalan ke dapur, membidik kulkas yang agaknya selalu tampak berkilauan di negara tropis, sambil menekan penyesalanku. Seingatku, Ketua Kelas kesulitan di pelajaran Bahasa Indonesia. Maka aku akan memberikan catatan berhargaku padanya, yang bahkan Mella takkan mendapatkannya dengan cuma-cuma. Anggap saja itu bentuk rasa terima kasihku dan penyesalanku, mungkin.
Berpikir soal Mella, aku meraih sekotak jus jeruk dari dalam kulkas. Ingatan tentang apa yang terjadi tadi mulai membanjiri kepalaku. Tanganku sedikit bergetar ketika menuangkan jus jeruk ke dalam gelas, menumpahkan sedikit cairan oranye itu di permukaan lantai. Aku mendesah, kembali memasukkan kotak jus ke dalam kulkas. Melempar sembarang tisu dari atas kulkas ke laintai, aku menginjaknya tepat di noda mengirim sensasi dingin dan lengket ke telapak kakiku yang telanjang. Sial, desahku. Bahkan tumpahan jus jeruk berusaha menggertakku sekarang.
Aku berharap Kak Wendy segera pulang.
Aku berharap noda ini dengan sendirinya bisa menghilang!
Mulutku terkatup, gagal meloloskan umpatan-umpatan yang kurasa kalau disuarakan mempu meredam kekesalanku. Sebagai gantinya, aku menciut ketika aura yang sedari tadi kurasakan tapi pura-pura tidak, menguar makin pekat. Dan tak terlalu terkejut saat menangkap eksistensi si setan tampan.
"Akhirnya, muncul juga pahlawan kita," kataku penuh sinisme sambil menyesap gelas jusku, berusaha meredakan amarah yang siap meledak-ledak tanpa ragu.
Iblis sesat itu tak mengatakan apapun. Hanya memindahkan tatapan intensnya dari mataku ke bawah. Tunggu, ke bawah? Aku menunduk, mengikuti arah tatapannya sebelum membeku. Dia menatap kakiku?
Aku belum memuntahkan hinaanku, entah menyebutnya cabul sesat atau apa, pokoknya hal-hal buruk meskipun tak jelas kebenarannya, karena tingkah abnormalnya yang menatap kaki indahku. Sekali lagi, kaki indahku. Walaupun aku tahu kakiku kelewat indah, tetap saja tak sopan memandangnya terang-terangan. Tiba-tiba sensasi dingin dan lengket menghilang. Begitu saja.
Menghilangkan tatapan penuh kebencianku dari setan tanpa manner itu, lagi-lagi aku menunduk. Terkesiap ketika menemukan segalanya bersih. Seolah aku belum menumpahkan apapun dan melemparkan apapun. Lantai kosong. Hanya ada kaki indahku.
KAMU SEDANG MEMBACA
Touch
HorrorAku tidak bohong. 'Sesuatu' itu menyentuh tubuhku saat aku tidur! (Belum revisi)