"Kemarin ibu ketemu teman kamu, si Dara." Wanita paruh baya dengan daster hijau bermotif bunga besar mucul dari balik pintu ruang tengah dan menghampiri ku yang duduk di ruang tamu, aku bisa mencium aroma tepung , pisang dan sisa minyak panas menguar menghampiri ku.
Aku hanya mengangguk dan mencomot sepotong pisang goreng panas sebelum piring itu mendarat sempurna di atas meja.
"Anak nya udah dua ya, cewek cowok. Suaminya katanya sudah diangkat jadi PNS, sekarang lagi bikin rumah, padahal gaji PNS kan nggak seberapa ya. Denger-denger sih mertuanya yang bantuin bikin rumah." Ibu ikut nimbrung di kursi sebelah tempat ku duduk.
Aku masih tak menyahuti, lidah ku terlalu sibuk berdansa menikmati hawa panas pisang goreng yang menjalar memenuhi mulut ku.
"Kamu beneran nggak ada yang naksir? Masak sih nggak ada yang deketin?" selidik ibu dengan mata yang memicing dan kening yang berkerut dramatis.
"Nghak addha." Balas ku dengan mulut yang penuh dan kepanasan.
"Kok bisa sih? Jaman ibu dulu yang ngapel bisa sampe gang antriannya! Nggak habis-habis, sampe ibu bingung mau pilih yang mana."
Dan mulai lah ibu dengan dongeng kebanggaannya, tentang dirinya yang dulu adalah kembang Desa anak Pak Lurah yang menjadi rebutan para lelaki hingga kepelosok. Seolah-olah hanya ibu satu-satunya perempuan yang hidup dimasa itu sampai-sampai semua lelaki hanya memperebutkannya.
"Aku berangkat kerja dulu ya bu." Ujar ku begitu tuntas mengunyah dua potong pisang goreng.
"Loh ini kan hari minggu? Kantor mu nggak libur?"
"Nggak." Balas ku pendek menggamit telapak tangan ibu kemudian menciumnya.
"Anak perempuan nggak usah terlalu ngejar karir, cukup nanti suami kamu aja yang kerja." Sela ibu menahan langkah ku yang hendak buru-buru pergi meninggalkan ruang tamu. Atau lebih tepatnya menghindari topik yang selalu memojokkan hidup ku.
"Kalau aku nggak nikah gimana bu?" Akhirnya kata-kata itu meluncur dari mulut ku, setelah sekian tahun aku mencoba menahan diri meluncur juga karena aku mulai terusik.
"Kenapa nggak nikah?" tatap ibu melotot.
"Ya nggak mau." Balas ku santai.
"Astagfirullah kak! Nikah itu wajib! Haram hukumnya kalau nggak nikah!" Nada suara ibu meninggi, raut wajah nya pun terlihat kesal.
Aku tergelak. Ibu memang tipikal orang tua yang gampang menjudge sesuatu tanpa ada dasarnya.
"Kata siapa haram? Ustad Mus? Ibu yakin? Coba tanya lagi sama Pak ustad." selidik ku dengan senyum menggoda ibu.
"Bu, nikah itu wajib kalau sudah merasa mampu dan takut zina. Tapi aku belum merasa mampu dan insyaallah nggak ada keinginan untuk berzina jadi nggak wajib atau bisa jadi kalau dipaksakan malah jadi haram." Imbuh ku.
"Kamu ya kalo dinasehatin orang tua, adaaa aja. Coba dari dulu kamu mau dikenalin sama anak temennya ibu, pasti sekarang udah nikah! Eh malah tiap hari kerja, kerja, kerja tapi nggak kaya kaya." Gerutu ibu.
Aku lagi-lagi hanya tersenyum mahfum.
"Ibu lebih penting malu sama tetangga anaknya belum nikah ya dari pada anaknya bahagia." Balas ku tenang.
"Loh kok ngomong gitu sih, ya jelas lah yang paling penting kamu bahagia."
"Bahagia pakai standar siapa? Standar tetangga? Atau standar ibu?"
"Kamu ini ya kalau dinasehatin orang tua.."
"Berangkat dulu ya bu, assalamualaikum." Tutup ku tak ingin memperpanjang masalah dan melenggang pergi meninggalkan ruang tamu.
"Hati-hati! Pulangnya jangan kemaleman." Teriak ibu akhirnya dari balik punggung ku.
Untuk yang kesekian kalinya, aku ingin pergi. Pergi sejauh-jauhnya dari ibu.
YOU ARE READING
DIARI LAJANG
Random"Ibu lebih penting malu sama tetangga anaknya belum nikah ya dari pada anaknya bahagia." Balas ku tenang. "Loh kok ngomong gitu sih, ya jelas lah yang paling penting kamu bahagia." "Bahagia pakai standar siapa? Standar tetangga? Atau standar ibu?" D...