Usia ku genap 28 tahun tepat sebulan yang lalu, tapi semua orang di kampung ku sudah menghakimi ku sebagai perawan tua yang tak laku-laku, versi lebih halusnya lagi mereka menyebutku pemilih, selera tinggi dan banyak lagi julukan yang sebenarnya aku tidak peduli tapi ibu sangat peduli. Bahkan terlalu peduli hingga semua cemoohan itu membuatnya harus meneror hidup ku setiap hari.
Sejujurnya aku tidak punya keinginan untuk menikah setelah mantan kekasih ku berkhianat padaku, aku tahu semua orang bisa menyakiti ku tapi tidak dia. Ku pikir aku tahu semua hal tentangnya, tapi ternyata tidak. Mungkin ia tidak bahagia bersamaku hingga memilih wanita lain sebagai pendamping hidupnya tanpa mengakhiri hubungan kami lebih dulu.
Memangnya kenapa kalau ditinggal? Apa susahnya mencari yang baru. Masih banyak ikan di laut.
Satu masalah tidak selalu diselesaikan dengan cara yang sama, setiap orang punya ambang batas rasa sakit masing-masing. Bukan aku tidak mau memulai hubungan yang baru tapi aku takut tidak mampu, aku takut pria yang bersama ku nanti tidak bahagia bersama ku dan memilih pergi, lagi.
Untuk saat ini, aku tidak ingin berharap pada siapapun.
Aku membuat diriku sibuk dari hari senin sampai jum'at di kantor, di akhir pekan aku menjadi relawan lingkungan. Tapi sangat susah menjelaskan pada ibu sebuah pekerjaan tanpa gaji, jadi aku memilih berbohong dan mengatakan diriku lembur.
"Kasas ikan ku matanya dicuri Bobiii." Teriakan melengking hampir memekikkan telinga kontan membuyarkan lamunan ku tentang ibu.
"Bobii." Panggil ku lembut namun penuh penekanan ke arah bocah berumur 7 tahun yang terkenal usil di antara teman-teman sebayanya.
"Cuman pinjem kok." Balas Bobi mengkonfirmasi dengan senyum jenakanya.
"Sayang, itukan punya temen kamu." Aku menunjuk gadis kecil yang tengah merengek memeluk sebelah kaki ku.
"Iya-iya gitu aja ngadu, cemen." Gerutu Bobi sambil menyerahkan bola mata plastik tempelan itu pada gadis kecil di sebelahku.
"Maaf nya mana?" todong ku.
"Maaf." Ujar Bobi tak ikhlas.
"Iya, aku maafin tapi jangan diulangin lagi ya." Sahut gadis kecil yang lebih muda setahun dari Bobi itu sok dewasa.
Bobi tak menjawab, ia hanya mencebik kemudian kembali ketempat duduknya semula. Aku pun menggiring gadis kecil itu kembali ketengah-tengah perkumpulannya yang tengah sibuk membuat prakarya.
Hari ini aku bersama beberapa teman relawan melakukan workshop bersama anak-anak panti asuhan, temanya membuat mainan dari sampah plastik yang di daur ulang. Kami membebaskan setiap anak untuk membuat mainan imajinasinya sendiri dari botol plastik bekas dengan bantuan pernak-pernik hias sebagai tambahan.
Ada yang membuat mobil, ikan, gurita, rumah, bahkan monster botol yang kami sendiri tak pernah membayangkan itu sebelumnya.
Riuh rendah terdengar dari semua penjuru taman terbuka yang berada di belakang panti, ada yang berteriak spidolnya hilang, atau lemnya kurang banyak, atau pernak-perniknya dicuri temannya.
Dan kami hanya menjadi penengah.
Dulu saat aku tengah mengenyam bangku kuliah, satu-satunya tujuan yang ada di kepalaku adalah menjadi kaya. Dengan begitu orang-orang tidak akan semena-mena menghakimi hidup ku, merasa diri mereka berhak mengomentari tentang bagaimana aku seharusnya lulus tepat waktu, bagaimana aku seharusnya menikah saja dari pada menghabiskan uang orang tua ku atau bagaimana mereka mengomentari mantan kekasih ku dulu.
YOU ARE READING
DIARI LAJANG
Random"Ibu lebih penting malu sama tetangga anaknya belum nikah ya dari pada anaknya bahagia." Balas ku tenang. "Loh kok ngomong gitu sih, ya jelas lah yang paling penting kamu bahagia." "Bahagia pakai standar siapa? Standar tetangga? Atau standar ibu?" D...