Meira tersenyum tipis menatap buku tulisnya ketika Bu Enny---Guru Sejarah---sedang menjelaskan di depan. Gadis itu sama sekali tak memerhatikan semua ocehan panjang lebar dari Bu Enny.
Ah, bukan ocehan. Maksudnya penjelasan.
Berkali-kali Meira menoleh ke depan, kemudian kembali ke buku tulisnya, terus seperti itu selama beberapa saat. Hingga sebuah teguran menghentikan kesenangannya.
"Meira!! Apa yang kamu lakukan?" tanya Bu Enny sambil berjalan menghampiri bangku Meira yang memang berada di deretan belakang.
"Saya kenapa Bu?" Meira balik bertanya sambil memasang tampang sok polosnya. Senyum tipis yang tadi tersungging di bibirnya menghilang tanpa bekas---seakan memang tak pernah ada sebelumnya.
"Coba Ibu lihat buku tulis kamu!" tanpa menjawab pertanyaan Meira, Bu Enny malah menjulurkan tangannya.
Meira menggeleng, menolak memberikan buku tulisnya. Tapi Bu Enny tetap memaksa. Hingga beberapa saat kemudian, Meira mengembuskan napas panjang lalu dengan pasrah dia menyerahkan buku catatan Sejarah yang sejak tadi dia gunakan untuk menggambar.
Bibirnya kembali tersenyum. Tipis sekali. Senyuman itu tidak akan terlihat kalau saja tidak diperhatikan baik-baik.
Bu Enny membuka buku milik Meira ditengah tatapan ingin tau dari penghuni kelas XI IPA 3. Dahinya berkerut samar.
"Apa-apaan ini Meira? Kamu sedang mengolok Ibu?" tanya Bu Enny nyaring. Suaranya yang cempreng itu benar-benar memperburuk pendengaran.
Bukan tanpa alasan Bu Enny mengatakan itu. Masalahnya adalah, di buku tulis Meira ada gambar seekor banteng dengan kemeja hijau bermotif bunga dan rok span berwarna hijau tua melekat dibadannya. Setelan yang sama seperti yang saat ini Bu Enny pakai. Rasanya ... itu bukanlah suatu kebetulan kan?
"Ya nggak mungkin lah saya berani mengolok Ibu," balas Meira lagi-lagi sok polos. Sedangkan penguni kelas yang lain sudah melotot ke arahnya.
Meira benar-benar cari masalah!
"Lalu ini apa, Meira?!" Bu Enny menaikkan nada suaranya.
"Itu cuma gambaran, Bu," balas Meira tenang.
Bu Enny memejamkan mata berusaha bersabar. Menarik napas panjang, lalu mengembuskannya perlahan. Setelahnya, Bu Enny menatap Meira dengan emosi yang lebih terkontrol.
"Alangkah lebih bagus jika bakat menggambar kamu itu disumbangkan untuk hal yang lebih bermanfaat," kata Bu Enny sambil mengembalikan Buku catatan sejarah milik Meira. Kemudian guru muda---yang biasanya pemarah---itu berjalan kembali ke tempatnya semula.
Sebenarnya Bu Enny tak berbohong mengenai Meira yang mempunyai bakat menggambar. Semua gambaran atau bahkan hanya coretan tak berarti bisa terlihat bagus jika Meira yang membuatnya. Bahkan jika mau, gadis itu bisa dengan mudah mendapat kemenangan jika mengikuti lomba menggambar. Tapi sudahlah, tak ada yang bisa menebak apa yang sedang gadis itu pikirkan.
Krrriiiiinnngggg!!
Bel panjang tanda berakhirnya kegiatan belajar terdengar diseluruh penjuru sekolah. Disusul oleh seruan lega dari siswa/siswinya. Termasuk kelas XI IPA 3.
"Baik anak-anak! Untuk tugas dirumah, kerjakan soal halaman 125 sampai 128 dan besok dikumpulkan!" seru Bu Enny sebelum meninggalkan kelas.
Tepat setelah Bu Enny memberi tugas, berbagai keluhan terdengar di setiap sudut ruang kelas. Seluruh penghuni kelas bersungut-sungut tak terima dengan berbagai tugas yang dibebankan pada mereka hari ini, tapi tetap saja mereka tak berani melawan.
Mungkin diantara mereka hanya satu orang yang terlihat biasa saja, oh! Tepatnya tak peduli. Yap, Meira lagi. Gadis itu sibuk memasukkan tumpukan bukunya kedalam tas. Ikut keluar tepat setelah Bu Enny meninggalkan ruang kelas, tak peduli dengan keluhan teman-teman sekelasnya.
![](https://img.wattpad.com/cover/168246853-288-k828934.jpg)
KAMU SEDANG MEMBACA
The Puzzle of Memories (COMPLETE)
Подростковая литератураMEIRA & ALVIN Judul awal "WARNA" Beberapa kali #1 in Karya ***** Kisah tentang Meira yang kehilangan ingatannya. Tidak mengingat Alvin teman masa kecil yang kini datang kembali seperti janji mereka. Ketika menampik kata 'cinta' bukanlah sebuah keput...