Prolog

3.4K 312 14
                                    

Langit malam yang semakin larut, bekas hujan yang masih menitik dari atap-atap bangunan, jalanan yang basah, dan udara yang lembab. Di depan toserba yang diberi tanda buka 24 jam, gadis itu berjongkok di tepian, memeluk lutut sambil menghitung deretan semut berjajar yang pindah bersama kawanannya.

Beberapa kali dia menjadi perhatian, dari orang-orang yang berlalu-lalang, keluar-masuk toserba tempatnya berteduh selama hujan yang mengguyur lebih dari tiga jam. Tidak ada tanda kelelahan, pun keluhan yang keluar dari bibirnya. Hanya sesekali merasa bosan, memutar kepalanya ke segala arah, melirik ponsel yang dia genggam di tangan, untuk kemudian menghembuskan napas pendek begitu tak ada notifikasi apa pun yang dia terima.

Gadis itu merapatkan pelukannya pada diri sendiri, merasa udara di sekitarnya semakin dingin. Apa yang dia kenakan hanya sebatas kaus berlapis jaket jins yang lembab karena hujan, celana jins selutut yang tidak bisa melindungi kakinya dari udara yang menusuk. Ujung sepatu putihnya kotor dengan bercak cipratan air yang mengenai sepanjang hujan tadi.

Dagunya bertumpu pada lutut, tangannya yang memegang ponsel menjadi penumpu ketika ponsel itu akhirnya bergetar menandakan sebuah notifikasi baru. Dengan gerakan lambat ibu jarinya membuka kunci pada layar ponsel, sedikit gemetar karena suhu tubuhnya sudah mulai menurun menyesuaikan udara malam yang makin larut. Saat itu jam di pergelangan tangannya menunjukan hampir pukul sebelas malam.

Pesan dari orang yang sudah membuatnya menunggu lebih dari tiga jam, di bawah guyuran hujan tanpa pemberitahuan ataupun penjelasan. Tapi tak ada kemarahan yang terlihat di wajah gadis itu ketika membaca pesan yang baru dia terima, hanya sebuah desahan kecil dengan satu kata yang seolah sudah sering diulangnya berpuluh-puluh kali.

"Lagi?"

"Ath!"

Gadis itu mengangkat pandangannya dari layar ponsel, otomatis tersenyum begitu mendapati seseorang yang menghampirinya dengan langkah cepat, dengan napas memburu dan raut wajah khawatir.

"Gema..." Layar ponsel dalam genggamannya dibuat mati, gadis yang dipanggil "Ath" itu berusaha berdiri di atas kakinya yang mulai kaku karena terlalu lama berjongkok.

"Ngapain di sini malem-malem? Bokap lo telepon gue nyariin, katanya lo belum pulang juga dari tadi sore. Dan nomer lo nggak aktif!"

Seakan benar-benar teringat, Ath bergumam pelan, "Ah, gue lupa ngabarin Ayah."

Ath meringis, menunjukan raut sesal melihat kening Gema yang dipenuhi kerutan tidak mengerti. "Hp lo kenapa? Kenapa nomer lo nggak bisa dihubungin?" Gema melirik ponsel di genggaman Ath, masih berusaha mengintrogasi.

"Ah, ini..." Ath menggaruk belakang telinganya, ragu untuk bercerita. "Tadi sore hp gue masuk bathtub terus mati, gue bawa ke tempat service dan ternyata simcard-nya juga ikutan rusak. Mau gue ganti ke galeri ternyata udah tutup karena kesorean, jadi gue beli nomer sementara, gue lupa ngabarin Ayah." Ath menunduk, menyembunyikan ringisannya. "Dan malah ngabarin dia duluan," lanjut Ath dalam hati.

Gema masih terlihat belum puas, tapi dia merasa bersalah jika lebih banyak lagi bertanya sementara bahu Ath sudah bergidik kedinginan.

"Masuk mobil, gue anter lo pulang."

Ath mengangguk, mengikuti Gema yang melangkah lebih dulu untuk membukakan pintu mobilnya. Cewek itu berjalan menunduk, membuat pandangannya kembali tersita pada ponsel dalam genggaman. Tangannya bergerak kembali menggeser kunci di layar, yang kemudian memperlihatkan isi pesan yang tadi sudah dia baca.

Sorry, Ath. Kita nggak jadi nonton.
Emma maafin gue, jadi gue nemenin dia belanja.
Lo nggak nunggu, kan?
Hp gue tadi mati, dan gue lupa ngabarin lo.

Niel.

Hembusan napas kembali keluar begitu Ath selesai membaca pesan itu untuk kedua kali. Tenggorokannya terasa sakit, mengalahkan sakit di kakinya yang tadi dipakai untuk berjongkok dan berdiri--menunggu.

"Ath?" Gema berseru, melempar sorot tanya pada Ath yang langkahnya kini melambat.

Ath tersenyum sebagai jawaban, mempercepat langkahnya menghampiri Gema yang sudah susah payah mencari hingga menemukannya yang terlantar.

***

Jika saja sebuah teriakan bisa membuat orang mengerti arti tatapan mata, bisa membaca gerak dari sebuah rasa, bisa memahami arti dari menunggu, maka mungkin itu yang sudah dilakukannya sejak dulu. Tapi nyatanya diamlah yang membuatnya sabar, diam yang membuatnya setia, dan diam yang membuatnya mengerti. Dengan diam mereka bisa tetap bersama, dengan diam dia tetap bisa berada di sisinya. Bersama tanpa menuntut, bersama tanpa merusak hubungan yang sudah lama terbangun. Maka diam menjadi sebuah pilihan, meski keinginan berteriak jelas menyerangnya kuat. Menyakiti dan menggerogoti perasaannya begitu tega.  

Sebab, itu konsekuensi untuk seseorang yang berani jatuh cinta pada sahabatnya sendiri, bukan? Siap untuk jatuh cinta sendirian.

Amor FatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang