2. About Us

1.2K 193 0
                                    

Baru turun dari motor, Niel telak sudah menjadi pusat perhatian. Padahal saat itu mereka masih ada di parkiran, tapi siswa-siswi yang ada di sana jelas menaruh perhatian lebih pada Niel lebih dari biasanya. Entah apa lagi kali ini, tapi yang pasti Niel penyebabnya.

"Macarin anak kelas mana lagi lo?" Ath menyikut pinggang Niel yang sedang sibuk menyisir rambut dengan jari, berbekal kaca spion motor di depannya.

"Hah?" Niel menoleh dengan tampang bodoh, membuat Ath berdecak malas dan memilih meninggalkan pemuda itu dengan kepala menggeleng pasrah.

"Percuma, percuma. Mending jangan tanya hal kayak itu sama mahluk satu itu, Ath. Dia bahkan nggak inget siapa yang baru dia pacarin dan putusin seminggu kemarin," bisik Ath pada diri sendiri.

"Ath! Kok malah ditinggal sih?" teriakan Niel tidak menghentikan langkah Ath sama sekali, tapi detik berikutnya ada satu hal yang kemudian membuat Ath benar-benar bergeming dengan telinganya yang kini siaga.

"Dia, kan? Cewek jadi-jadian yang sok deket sama Kak Niel? Liat aja gayanya, berasa jadi cewek paling-paling di sekolah karena bisa deket sama geng ganteng OSIS."

Dorongan pada tubuh Ath yang membuat pembicaraan itu tak lagi terdengar. Saat mencerna situasi, Ath sudah menemukan tangan besar melingkar di lehernya. Tubuh tinggi itu memeluknya dari belakang—atau lebih tepatnya mempraktekan jurus kuncian bela diri yang mereka pelajari.

"Kalau gue lagi ngomong itu jangan ditinggal!" gerutu Niel mempererat kunciannya. Ath tentu saja tidak pasrah begitu saja, dia serang perut Niel dengan sikut, membuat Niel yang lengah sukses meringis sambil membawa tubuh mereka hingga membungkuk, saat itulah Ath mencoba melepaskan diri, membalik keadaan dengan mengunci leher Niel yang dapat dia raih karena posisi Niel sekarang. Jujur saja jika Niel dalam posisi berdiri normal, Ath sedikit susah melakukan hal itu karena perbedaan tinggi mereka yang hampir mencapai 15 cm. Sebenarnya Ath bukan kategori gadis pendek, tapi jika disandingkan dengan Niel yang memiliki tinggi 178 cm tentu saja gadis itu tetap terlihat mungil. Dan tinggi ideal itu yang menjadi salah satu faktor mengapa Niel menjadi cowok idaman.

Tidak cukup dengan lenguhan karena serangan yang diterimanya di perut, Niel masih harus meringis minta ampun karena serangan yang kini Ath jatuhkan di lehernya. "Ath! Ath! Sakit! Nyerah!" Niel menepuk-nepuk lengan Ath yang melingkarinya putus asa.

"Masih berani macem-macem?"

"Nggak, nggak! Cepet lepas!"

Menguatkan kunciannya sekali lagi hingga membuat Niel meringis semakin menjadi—Ath kemudian melepaskannya. Niel masih merintih saat kembali berdiri tegak di depan Ath, dengan tangan yang sibuk mengusap lehernya dan dahi menyerngit.

"Badan lo kecil tapi tenaga lo kayak kuda."

"Mau lagi?" tantang Ath berani.

"Nggak!"

Keduanya kemudian perang mata, seolah tak ada yang ingin mengalah dan mengalihkan pandangan mereka dari satu sama lain meski beberapa pasang mata sudah menjadikan keduanya pusat perhatian.

"Ath!"

Bukan si pemilik nama yang menoleh ke suara yang memanggil namanya lebih dulu, melainkan Niel, yang setelahnya baru diikuti Ath. Dari arah gerbang terlihat Banyu berlari dengan napas putus-putus, menghampiri mereka yang menunjukan ekspresi serupa, ekspresi tanya.

"Ada apaan sih? Bel masuk masih sepuluh menit lagi kok." Niel buka suara lebih dulu, tapi bukannya mendapat jawaban, Banyu yang tiba di dekat mereka justru langsung menarik lengan Ath dan menyeret gadis itu pergi.

"Eh! Mau dibawa kemana Ath gue? Jangan tarik-tarik!"

"Berisik lo, Niel! Pagi ini Ath punya gue—Auw!" ucapan Banyu langsung disanggah Ath yang meninju lengannya.

"Gue bukan punya siapa-siapa." Ath yang semula tidak keberatan ditarik-tarik Banyu langsung berusaha melepaskan pegangan Banyu di lengannya, otomatis menghentikan langkah mereka juga. "Lagian, apaan sih tarik-tarik?"

Banyu segera memasang wajah memelas yang dibuat-buat, menciptakan kernyitan di dahi Ath yang mulai bisa menebak arah pembicaraan mereka selanjutnya.

"PR fisika, Ath. Lo pasti udah ngerjain kan? Gue liat PR lo please... Kemaren gue ketiduran keasikan main game." Mohon Banyu dengan wajah semenderita mungkin.

Ath menghembuskan napas. Benar saja apa yang dia pikirkan.

Kepala Banyu dipukul dari belakang, bukan Ath pelakunya melainkan Niel.

"Makanya ngerjain PR itu jangan mepet! Gue yakin itu PR ada dari beberapa hari lalu, jadi kenapa lo baru niat ngerjainnya semalem? Bikin susah Ath aja lo!"

Banyu mendengus, mengusap kepalanya yang dipukul Niel. "Anak kelas tetangga di larang komentar!" Niel sudah siap membalas ucapannya, tapi Banyu segera mengabaikan Niel dan memusatkan pandangannya kembali pada Ath. "Athe, ayo... Nanti Bu Mila keburu masukkkk..." mohon Banyu lagi.

Entah memang Ath yang lemah atau Banyu yang begitu pintar membuat orang-orang merasa kasihan padanya, Ath tidak punya pilihan selain meminjamkan buku PR-nya—lagi. Itu cara satu-satunya agar Banyu tidak dijemur seharian di lapangan.

"Jangan dikasih, Ath! Kebiasaan."

"Ck, balik ke kelas lo sana! Ganggu aja!"

"Gue—"

"Pacar baru lo tuh urusin!" Banyu mengerdik ke satu arah, yang diikuti Niel dan Ath bersamaan. Seorang gadis terlihat memperhatikan mereka intens, dan itu sudah disadari Banyu sejak tadi.

"Ah iya, gue lupa kalau ada yang mau Sila bahas pagi ini. Gara-gara lo, Nyuk!" Sekali lagi Niel memukul kepala Banyu sebelum melipir pergi dengan langkah riang.

Ath masih memandang punggung Niel yang pergi menjauh.

"Athe! Ayo."

Ath mengangguk, berjalan di samping Banyu yang mulai mengoceh banyak hal. Sayangnya tak satu pun dari ocehan Banyu itu yang dia dengar. Ath justru menoleh pada Banyu dan bertanya di luar topik yang sedang Banyu bahas, "Lo tahu dari kelas mana pacar baru Niel?"

"Satu kelas." Bukan Banyu yang sedang dia pandang yang menjawab, melainkan kehadiran satu cowok berkaca mata yang kini sudah berada di sisi Ath yang lain, Gema.

"Mereka sekelas, Niel sama pacar barunya, Kayaknya dia cewek paling pinter seangkatan kita, makanya anak-anak pada heboh karena Niel bisa pacarin kutu buku kayak Sila," jelas Gema begitu Ath memutar tubuh menghadapnya.

Kepala Ath kembali berputar menoleh ke arah di mana Niel pergi, meski jelas sosoknya sudah tidak lagi ada di sana.

"Kenapa?" tanya Gema.

Ath menggeleng, meneruskan langkah mereka yang tertunda. "Pantesan dia semangat banget pagi ini. Pacarnya sekelas toh."

Gema tersenyum tipis, mengerti bahwa ucapan Ath tidak butuh sebuah tanggapan. Perhatian Gema malah tersita oleh tingkah Banyu yang dengan wajah memelasnya berusaha meminta Ath agar berjalan lebih cepat. Bibirnya komat-kamit, tangannya bergerak di udara seolah sedang menggiring ternak agar lekas masuk ke kandang.

"Lo belum ngerjain PR lagi?" sindir Gema.

"Memang lo mau pinjemin buku PR lo?"

"Nggak."

"Ya udah diem, jangan komentar."

Gema hanya bisa tertawa kecil tanpa suara, mengabaikan Banyu yang kembali menggerutu. Cowok itu sedikit membungkuk untuk memastikan ekspresi wajah Ath yang berjalan diam di antara mereka. Saat matanya dan Ath beradu, Ath ikut tersenyum tipis, mengabaikan keinginan Banyu yang sedang berburu waktu.

Pagi itu, kehadiran empat sekawan fenomenal Adeline Internasional School kembali menjadi pusat perhatian sekolah, meski dominasi itu tetap dimiliki Niel si idaman para gadis.

Amor FatiTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang