Terkadang, aku merasa menjadi bukan diriku. Apalah artinya jika senyatanya hidup adalah topeng palsu di balik tubuh yang hilang akan sukmanya. Ketika nafas yang ku hirup hanyalah sebuah teori yang terasa tidak benar-benar terjadi. Dan bibir kaku ku dipaksa untuk tersenyum palsu pada wajah-wajah baru.
"Namaku Adelia, kalian bisa memanggilku Adel. Dan aku senang bertemu kalian semua," kataku memperkenalkan diri pada wajah-wajah asing di depanku. Ya, aku siswi baru di sekolah. dan perlu kuberi tahu bahwa ini bukan pertama kalinya aku mengalami ini. Maksudku, berdiri kaku dengan senyum yang ku paksakan seperti ini. Ayahku seorang Pegawai Negeri yang entah berapa kali berpindah-pindah tugas. Imbasnya, aku harus berpindah-pindah sekolah mengikuti tempat dimana Ayahku bekerja.
Pak Wisnu mempersilahkanku untuk memilih tempat duduk yang ingin kududuki, dan seorang laki-laki dengan wajah dingin sukses menarik perhatianku untuk duduk di sebelahnya. Semua orang menatapku bingung, aku pun tak kalah bingungnya dengan apa yang salah.
"Pindah," kata laki-laki di sebelahku.
"Kenapa?" tanyaku keheranan. "Aku tidak mau siapa pun duduk di sebelahku," jawabnya datar. "Untungnya aku bukan siapa pun," jawabku yang langsung membungkam mulutnya.Dia menghela nafasnya perlahan, kemudian tanpa banyak bicara dia segera berdiri dan beranjak ke luar kelas. Misterius.
Entah berapa kali ku lirik dentingan jam dinding itu, seolah bait novel yang sedari tadi kubaca tak ingin bersahabat dengan mataku. Waktu berjalan sangat lambat menurutku. Bahkan jam istirahat yang kuharapkan berlalu sangat cepat, nyatanya justru menertawai kebosananku.
"Suka baca novel ya?" sahut sebuah suara membuat wajahku menoleh reflek. Kali ini laki-laki yang berbeda dengan teman sebangkuku. Dia tersenyum ramah, dan tanpa meminta izin dia menarik bangku di sebelahku dan mendudukinya."Gavin," katanya yang menyadari kebingunganku. "Namaku Gavin, aku duduk tiga meja di sebelah kananmu."
"Oh," balasku singkat. Aku kembali sibuk dengan novel."Kenapa lebih memilih duduk di kelas?" tanyanya lagi. "Gak lapar apa?"
"Sama sekali tidak," jawabku berbohong karena kenyataannya perutku sejak tadi menari-nari meminta diisi.
"Aku suka novelmu, caramu menceritakan benar-benar membuat pembacanya terbawa suasana," kata Gavin yang membuatku tertegun sesaat.
"Novelku?" tanyaku takut salah dengar.
Gavin mengangguk. "Kamu Adelia, si penulis novel Senja kan?" katanya yang langsung membungkam mulutku.Dia tahu novelku. Novel yang menurutku langsung terbenam setelah ia terbit. "Iya. Aku penulis novel Senja, novel yang gagal di pasaran," kataku.
"Siapa bilang?" sangkalnya cepat.
"Novelmu itu bagus. Kamu hanya kurang berani untuk mengirimkannya pada penerbit terkenal."
"Jangan memuji, kalau pun aku mengirimkannya pada penerbit ternama, aku yakin pasti ditolak," kataku pesimis. Aku menyadari tatapan herannya dari sudut-sudut mataku, kemudian perhatiannya tertuju pada novel yang kubaca.
"Akhir dari novel ini bagaimana?" tanyanya.
"Tidak tau. Aku belum selesai membacanya," jawabku tanpa menoleh.
"Kamu tidak bisa menebak?" tanyanya lagi.
"Tentu tidak."
"Tentu tidak ya? Lalu bagaimana mungkin kamu tahu soal novelmu akan ditolak padahal kamu belum mengirimkannya?" tanya Gavin yang kali ini benar-benar membuatku tertegun.Aku diam seribu bahasa, meski di sisi lain aku suka dengan caranya mengumpamakan sesuatu. Dan tanpa kusadari, bibirku yang pucat merekahkan senyumnya. Kali ini benar-benar tersenyum, bukan lagi senyuman palsu.
Sore itu sebuah buku kecil dan sebatang pensil telah kumasukkan ke dalam tas kecilku. Rumah tidak selalu membuatku nyaman. Aku memutuskan untuk menghabiskan sisa hari ini di luar. Aku rindu dengan sesuatu. Sungai kecil dengan jembatan kayu yang melintang di atasnya ternyata cukup untuk menarik perhatian kedua kakiku. Kuambil posisi menghadap ke pinggir jembatan. Dari sana aku bisa melihat senja. Suasana senyaman inilah yang aku rindukan. Segera kutulis apa pun yang melintas di pikiranku. Aku tidak tahu entah berapa lama aku sibuk dengan tulisanku, sampai- sampai tidak menyadari kehadiran seorang laki-laki yang belum kukenal namanya. Ya, dia teman sebangku di sekolah. Orang misterius itu berdiri tepat di sebelahku.
"Kamu," kataku menghentikan tulisanku sejenak.
"Renji," jawabnya tanpa mengalihkan pandangannya dari senja yang memerah.
"Namaku Renji."
"Oh, ngapain di sini?" tanyaku.
"Ini Kotaku. Aku bebas pergi kemana pun aku suka," jawabnya, kemudian melirik tulisanku sekali. "Mengapa kamu begitu menyukai senja?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Senja Terakhir
Short StorySenja memberiku pelukan nyaman saat aku menatapnya. Jika aku kesepian, aku kembali melihat senja. ~Adel Senja dan jingga adalah pasangan paling serasi di muka bumi ini. Mengalahkan pasangan romeo dan juliet serta rama dan sinta. ~Jingga Senja mengaj...