Harapan yang Tersisa

3 1 0
                                    

Di dalam Pasar yang penuh dan sesak dengan keramaian ini, aku menyusuri Pasar Beringhajo dengan berjalan kaki. Tujuanku ke sini hanyalah untuk berlibur dengan Ibu dan Antik, adikku. Namun aku tertegun ketika aku melihat kain sarung yang motifnya sama dengan motif kain sarung kesayangan Ayahku terpampang di sebuah toko. Saat aku melihat kain sarung tersebut, seketika aku pun teringat dengan kenanangan-kenanganku bersama Ayahku di masa lalu. Ya, di masa lalu karena saat ini Ayahku sudah tiada, karena tempat Ayahku bekerja mengalami kebakaran. Tapi aku yakin ayahku saat ini sudah pergi ke tempat yang lebih indah. Bagi ayahku, kain sarung bukanlah hanya sekedar kain. Baginya setiap kain sarung memiliki makna tersendiri dibalik motifnya.

"Manda, coba kamu amati kain sarung ini." Kata Ayahku.

"Memangnya ada apa Yah? Kain sarung ini berwarna merah." Ujar ku sambil keheranan.

Ayahku pun tertawa dan berkata

"Manda, coba kamu perhatikan dan cermati dengan baik."

Aku pun kebingungan dan menjawab

"Memangnya ada apa sih Yah? Aku tidak melihat apa-apa. Yang aku lihat hanyalah sebuah sarung bewarna merah dan memiliki motif kotak-kotak dan banyak orang yang menggunakan sarung dengan motif yang sama ini."

Ayahku masih tertawa dan akhirnya Ia menjelaskan kepadaku

"Manda, janganlah melihat sesuatu dari yang terlihatnya saja, lihat kain sarung ini berwarna merah yang memiliki arti keberanian dan memiliki motif kotak-kotak yang memiliki makna filosofis, yaitu melangkah kemana pun (baik ke kanan, kiri, atas ,ataupun bawah), setiap orang harus siap berhadapan dengan konsekuensi bahwa selalu ada keragaman di sekitarnya. Bukan hanya kain sarung ini saja Manda, banyak kain sarung lainnya yang memiliki makna yang sangat mendalam."

Aku pun terdiam dan terkagum-kagum dengan apa yang Ayahku jelaskan. Ayahku memang suka melihat sesuatu bukan hanya dari bentuknya saja, Ayahku juga melihat sesuatu dari makna yang terkandung di dalamnya. Kata ibuku, Ayahku merupakan orang yang sangat kritis dan bijaksana. Contohnya saja ketika Ayahku memberi nama untukku. Ayahku memberikan nama Amanda Amelia kepada ku karena kedua nama tersebut memiliki arti bijaksana dan pemberani. Kata ibuku, Ayahku memilih nama itu karena memiliki makna yang hampir sama dengan kain sarung kesayangannya. Ayahku berharap aku memiliki sifat yang pemberani, bijaksana, siap berhadapan dengan konsekuensi, dan menerima keragaman yang ada di sekitarku. Ya, karena itulah aku sangat menghormati dan mengagumi ayahku.

***

Tak terasa aku telah berdiri terdiam melihat kain sarung tersebut selama beberapa belas menit. Akhirnya, aku pun keluar dari toko tersebut dan pulang kembali ke hotel untuk menemui ibu dan Antik yang telah menungguku.

"Bu, aku sudah pulang. Ini oleh-oleh yang tadi Ibu pesan kepadaku untuk diberikan kepada tetangga kita di Karawang." Kata ku kepada Ibu yang sedang merapikan baju.

"iya nak, taruh saja dulu di samping koper biar nanti Ibu bereskan."

Lalu Ibu memanggilku lagi

"Manda, ke sini dulu sebentar nak."

Akupun langsung menuju kamar tempat ibuku membereskan baju.

"Iya Bu, sebentar." Kata ku sambil melangkahkan kaki menuju kamar.

Aku pun bertanya

"Ada apa Bu? Apa ada yang kurang? Biar nanti malam aku belikan lagi."

Ibu pun menjawab sambil mengambil kain sarung kesayangan ayah.

"Manda, ingat sarung ini?"

"Ingat bu, ini kan sarung kesayangan ayah. Memangnya kenapa bu?" jawabku sambil kebingungan.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Nov 23, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Harapan yang TersisaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang