Fata viam invenient.
Fate will find a way - Virgil.***
Mataku mengerjap, mencoba menyesuaikan intensitas masuknya cahaya ke dalam pupil hitam yang memang sudah tugasnya untuk membantu retina meneruskan rangsangan. Aku masih ingin tertidur, sejujurnya. Namun, bising yang menggangu tak dapat terelakkan. Jiwaku ditarik paksa dari kedamaian yang tadi menghinggap sebentar.
Suara dua orangㅡhanya sebuah perkiraankuㅡitu tidak kunjung berhenti berbincang.
"Apakah kali ini berhasil?" ucap salah seorang.
Tidak ada lagi balasan untuk sementara. Sayup-sayup terdengar benturan dua benda yangㅡlagi-lagi, masih perkiraankuㅡberbahan dasar besi. Seperti dentingan pedang dalam film perang.
"Entahlah." Jawaban itu terdengar payah, dalam artian penuh dengan keraguan. Namun, suaranya terdengar lebih berat daripada yang bersuara sebelumnya. "Seharusnya ... ya, seharusnya berhasil."
Kali ini, aku mendengar deham. Gugup, sepertinya. "Jika tidak ... apakah ... apaㅡ"
"Tunggu!" sela si suara berat.
Sejujurnya, aku betul tidak mengingat apa pun sebelum tertidur dan siapa mereka yang berbicara sejak tadi. Suaranya terdengar asing dan bagaimana mungkin mereka berada di kamarku?
Tunggu ... asing? Di kamarku?
Aku sontak membuka mata seraya menegakkan badan, bermaksud bersiap jika aku harus memberi perlawanan, atau sesuatu seperti itu. Mataku menelisik, menatap curiga dua orang berpakaian aneh di hadapanku.
Embusan kasar langsung saja kulontarkan begitu detik ketiga terlewati setelah saling menatap. Benar dugaanku, terdapat dua orang.
Sudah kuduga. Ternyata, hanya sebuah kepanikan yang tidak berguna.
"Ugh. Aku masih bermimpi," ucapku bermonolog selagi menyamankan diri untuk kembali mendapatkan ketenangan. Ya, semacam tidur di dalam tidur, kalau itu masuk akal.
Tidak sulit untuk membedakan mana mimpi dan kenyataan untukku akhir-akhir ini. Aku selalu bermimpi tentang padang luas, pohon menjulang tinggi, suara alam khas hutan yangㅡkalau boleh jujurㅡtidak menakutkan. Juga, tentang orang-orang berpakaian aneh dan kerajaan berpilar megah. Persis seperti buku fiksi bertema kerajaan dengan kisah romansa putri kerajaan dan kekasihnya yang kubaca di waktu luang.
"Alea?" Alunan dari si suara beratㅡyang sejujurnya aku akan sangat bersyukur jika dapat mendengarkannya setiap hariㅡmenyambangi gendang telingaku. Membuat lagi-lagi kesadaranku kembali. Benar-benar menyebalkan.
Mataku terbuka, menatap tepat di iris kecokelatan lelaki tampan ituㅡini bukan ungkapan hiperbolaㅡyang turut diikuti dengan sedikit desisan yang dikeluarkan tanpa dapat kutahan.
Biar aku jelaskan mengapa kukatakan bahwa lelaki ini tampan, terutama si suara berat. Pernah membaca deskripsi tentang keturanan dewa-dewi Yunani? Dengan pahatan wajah sempurna dan postur tubuh gagah, tepat jika aku membayangkan lelaki di hadapanku ini sebagai keturunan dewa-dewi yunani yang pernah kubaca.
Diaㅡsi suara beratㅡmemakai baju cokelat tua dengan motif berwarna emas di leher, lengan, dan di bagian bawah. Dilengkapi pula dengan ikat pinggang hitam bermotif khas yang melingkari pinggul.
Begitu pula dengan si lawan bicara. Hanya saja ia menggunakan baju yang berwarna hijau dan tanpa ikat pinggang.
Kalau dibandingkan, postur si suara berat terlihat sangat proporsional. Bukannya mengatakan bahwa si baju hijau buruk rupa, hanya saja ... tidak seimbang jika aku harus membandingkan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Queen Alea
FantasyAlea, seorang gadis berusia dua puluh tahun, mendapati dirinya selalu bermimpi sebagai seorang Ratu dari Kerajaan Moritus. Kerajaan megah jauh di dalam hutan yang diagung-agungkan sebagai kerajaan termakmur. Akan tetapi, Alea bukanlah Ratu dalam wuj...