Cemas Itu Normal 'kan?

137 31 19
                                        

Hari ini, ketika gorden jendela kututup, langit mulai menghitam. Menunjukkan pesona malamnya dengan kerlip bintang yang mulai terlihat.

Aku beranjak setelahnya. Menuju ranjang sempitku yang untuk pertama kali aku tempati setelah seharian ini aku berkelana mencari flat-flat kecil dengan harga miring.

Ya, saat ini aku sedang berada di kamar flat-ku. Besok adalah hari pertama masuk perguruan tinggi. Dan aku tidak akan mungkin dengan bodohnya melupakan hari itu. Semua peralatan yang akan kubawa untuk orientasi kampus telah rampung kusiapkan.

Kini, yang kulakukan hanya berbaring di atas single bed yang kasurnya tak lebih empuk dan lebih lebar dari milikku yang ada di rumah, meski tempat tidur di rumahku juga tidak bisa dikatakan mewah.

Aku menatap pijar putih yang berada di langit-langit sembari menghela napas.

Donghae berada di fakultas yang berbeda denganku. Dan aku, untuk pertama kalinya pergi ke lingkungan baru sendirian. Tak ada Yerin, eomma, maupun appa yang menemani.

Namun, aku juga tak dapat mengeluh karena aku anak pertama. Tak pantas rasanya bagiku untuk mengeluh, apalagi aku seorang anak laki-laki. Mungkin, ketika aku melakukan hal itu, aku akan dianggap aneh, manja, cengeng, tidak gentleman dan kata-kata lain seperti yang pernah kudengar dulu. Mengingat hal itu membuat senyum miris terpahat di bibirku. Dan aku tidak cukup bodoh untuk mengulangi hal yang sama.

Atensiku pun teralih pada jam digital kecil yang kuletakkan di atas nakas. Pendar hijaunya masih menunjukkan jam delapan. Dan aku masih punya cukup banyak waktu saat ini.

Jujur, ketika pertama aku mendapati namaku di portal pengumuman di internet. Yang terlintas di pikiranku saat itu adalah; bagaimana aku memulai hari di kampus itu? Maksudku ... apa yang harus kulakukan pertama kali saat kakiku menapaki Universitas Seoul dengan status sebagai mahasiswa disana?

Apa aku akan berakhir seperti orang dungu? Atau berakhir menjadi angin di tengah lautan manusia seperti dulu?

"Haish .." aku menyugar surai kasar. Mengingat masa lalu membuat luka itu kembali menganga. Aku tak ingin semua hal itu makin merangsek masuk dalam otakku. Sehingga, kuputuskan untuk bangun. Menuju kamar mandi dan mencuci mukaku dengan air dingin dari kran yang memancar cukup deras.

"Yesung-ah, lupakan semua itu dan beranilah! Kau laki-laki. Mudah 'kan? Kau hanya cukup datang, dan biarkan semua itu mengalir dengan sendirinya." Sepertinya aku mulai gila. Bahkan, aku berbicara pada diriku sendiri di balik cermin dengan wajah basah.

Hingga beberapa saat kemudian, aku kembali mengerang frustasi.

"Aargh!" Ini tak berhasil. Tubuhku merosot. Menempel pada keramik dingin yang terpasang rapi hingga menyusun bentuk sebuah bak yang berfungsi sebagai tempat penampung air.

Persetan dengan baju belakang dan celana trainingku yang basah. Kedua lututku tertekuk dengan tangan yang terlipat di atasnya dan menenggelamkan kepalaku di baliknya. Membiarkan dingin kamar mandi melingkupi tubuh kurusku yang ditempa rasa cemas dan takut serta.

***

Di sinilah aku kini. Duduk di kursi yang khusus disediakan toserba untuk beristirahat, sembari menggenggam kopi panas yang baru saja kuseduh. Tadi, setelah puas menenangkan diri di kamar mandi, aku memutuskan ke toserba ini untuk menyeduh segelas kopi panas setelah berganti baju. Maklumlah, flat kecilku belum sempat terisi bahan makanan. Sehingga, mau tak mau aku harus keluar demi memenuhi keinginanku.

Aku menatap kerlip bintang yang menyebar di langit. Dalam hati, aku berdecak kagum pada Tuhan yang telah menciptakan mereka dengan begitu apik sembari menyesap kopi. Rasanya begitu menangkan. Segelas kopi panas ditengah taburan bintang di langit juga jajaran lampu jalan dan angin yang berhembus pelan.

FACETempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang