Universitas Seoul masih sama seperti biasanya. Dengan gedung-gedung fakultas yang saling berlomba menjulang tinggi, juga jajaran berbagai jenis pohon hijau hingga yang berwarna-warni sejenis sakura dan gingko kuning pun berjajar dengan apik, memenuhi jalan setapak yang ditutupi oleh paving block yang membentang diantara gedung-gedung tinggi fakultas Universitas Seoul.
Waktu sudah menunjuk di angka sembilan lebih lima puluh, ketika ketenangan yang menyelimuti gedung fakultas teknik terusik oleh langkah kakiku yang begitu tak beraturan akibat dikejar waktu.
Aku kesiangan.
Hanya satu kata itu yang dapat kubeberkan pada kalian. Hingga merapikan rambut pun hanya kulakukan dengan menyusupkan jemari pendek ini pada helaian surai jelaga yang menjuntai hingga menutupi kening, disela-sela langkah kaki yang begitu semrawut.
Aku menyusuri koridor fakultas teknik dengan langkah secepat yang kumampu. Mendaki tiap anak tangga yang mengantarkanku pada lantai tiga, tempat dosen mata kuliah pertamaku memulai kelasnya.
Oh shit. Kenapa juga harus lantai tiga? Demi Tuhan. Aku belum sarapan sama sekali, dan harus menaiki anak tangga sebanyak ini demi menggapai ruang yang sialnya, terletak di bagian paling ujung kanan dari anak tangga terakhir di lantai tiga yang berhasil kudaki dalam waktu kurang dari enam menit.
Tak ada waktu untuk mengatur napas. Aku harus cepat atau nilai absenku yang menjadi korban karena dosen yang satu ini benar-benar disiplin soal waktu.
Dalam langkah kaki pendekku yang cepat ini, aku kembali merutuk. Bagaimana bisa aku ketiduran selama itu? Dan kenapa pula semua tugas yang kukerjakan sebelumnya salah langkah? Hingga membuatku harus mengerjakan ulang dalam waktu semalam ditambah harus berlatih untuk mempresentasikan tugas ini.
Meski aku tak terlalu bermasalah dengan public speaking. Namun, agaknya ketakutan itu masih membayang dalam benakku kala menyusun kata per kata untuk dipresentasikan. Memikirkan kemungkinan-kemungkinan pertanyaan yang muncul, ditambah memikirkan reaksi mereka ketika presentasiku berlangsung yang berujung membuatku menghabiskan hampir dua cangkir kopi demi mempersiapkan semua ini.
"Maafkan saya, Prof. Saya terlambat di mata kuliah Anda." Dengan nada bicara yang kubuat senormal mungkin, aku berucap. Mengatur napasku serapi mungkin, agar terlihat sopan hingga membuat kedua lubang hidungku mengembang demi menuntaskan napas panjang yang tak sempat terurai.
Jantungku sedang berpesta. Menantikan respon dosen wanita di hadapanku yang usianya sudah memasuki kepala lima ini, seraya melirik arloji yang melingkar di pergelangan tangan kiri yang kupasang asal.
Pukul 10.10. Oke, rekor terburuku Kim Yesung. Semoga, Prof. Ahn memaafkan keterlambatanmu.
Kelas seketika hening. Rasanya, aku seolah dapat mendengar suara-suara napas tertahan dari beberapa mahasiswi yang ada di sini. Mungkin, mereka sama sepertiku? Menunggu reaksi sang dosen yang tak kunjung membuka suara sembari harap-harap cemas.
Namun bedanya, disini, aku berdiri kaku dengan keringat yang tak kepalang membasahi dahi, punggung dan ketiak. Aku bahkan dapat merasakan keringat kini menetes di dadaku, yang tertutup oleh kemeja kotak-kotak biru yang ujungnya tak sempat kumasukkan ke dalam celana, dengan lengan yang tak sempat kulipat hingga sesiku seperti biasanya.
"Baiklah kalau begitu. Untuk menebus keterlambatanmu, kau presentasi duluan."
"Baik Prof." Aku lega, tentu saja. Prof. Ahn masih memberiku kelonggaran. Dengan cepat aku menyimpan tasku pada salah satu kursi yang masih kosong. Mengambil laptop dan adapternya dari dalam tas sembari mulai menyalakan tombol power.
Selagi menunggu, aku mulai menyalakan LCD proyektor dan menyambungkannya pada laptopku yang telah sempurna menampilkan halaman depan. Dengan semangat, aku membuka program sederhana yang telah kususun semalam suntuk. Berharap tugas kali ini mendapat nilai memuaskan, sehingga bergadangku semalam bukan menjadi hal yang percuma.
Aku mengetukkan pelan ujung kakiku pada lantai keramik ruang kelas. Menunggu programku termuat seluruhnya sembari mengedarkan pandang pada penjuru kelas. Jujur, aku gugup. Pasalnya, aku menjadi yang pertama. Hingga tanpa sadar, aku menggigit bibir bawahku pelan demi mengurangi rasa gugup.
Setelah seluruh programku termuat, aku mulai membuka suara, memecah keheningan kelas dengan suara gugupku yang coba kusamarkan. "Selamat pagi, saya Kim Yesung,"
"Tunggu!"
Deg
Seruan Prof. Ahn membuat suaraku tersendat di tenggorokan. Ada apa? Apa aku melakukan kesalahan?
Seketika seluruh kelas kembali dipeluk oleh keheningan yang lebih mencekam dari pada tadi. Napas legaku yang sempat terhembus tadi kembali tertahan. Aku menggigit bibir bagian bawah sembari menatap Prof. Ahn yang nampak serius menatap susunan kode program yang terpampang melalui LCD proyektor.
Tanpa berkata-kata, Prof. Ahn berdiri dari kursinya, menghampiriku dengan tangan terlipat di dada. Aku gugup. Lebih gugup dari yang tadi ketika menyadari bahwa aku melakukan kesalahan. Terbukti dari tatapan Prof. Ahn yang bak hujaman sembilu itu.
Tubuhku gemetar. Jantungku saling bertalu dengan rasa panas-dingin menyebar di seluruh tubuh hingga ke ubun-ubun, kedua tangan yang berada di kedua sisi tubuhku terkepal, meski tak ayal, aku masih mengulas senyum sebisaku meski terlihat sangat kaku. Berusaha memasang perisai seolah aku tak melakukan kesalahan apapun.
Tenang Kim Yesung. Tenang.
Entah kenapa, banyak sekali kejadian-kejadian masa lalu yang terulang. Karena nyatanya, kejadian ini membawaku pada kisah lampau. Dimana ketika itu, aku yang lupa password masuk web ruang belajar dan salah mengumpulkan tugas, diabaikan begitu saja oleh Seonsaengnim, membuatku begitu gelisah karena takut tak mendapat nilai. Hingga akhirnya, aku hanya mampu bersembunyi di jajaran toilet sekolah yang basah dengan tubuh gemetar dan tangan terkepal kuat.
Untunglah saat itu ada Donghae yang membantuku, menghampiriku dan mengatakan bahwa anak-anak lain juga ada yang bernasib sama sepertiku. Membuat sepucuk perasaan tenang menyebar dalam benakku, hingga menciptakan sedikit tarikan pada sudut bibir ini demi menyalurkan perasaan lega itu. Meski tak ayal, tubuh ini masih terasa lemas dan gemetar.
"Begini saja kau tak bisa." Aku kembali menatap Prof. Ahn yang membuka suara. Meninggalkan kenangan masa lalu yang sedang merangkulku untuk kembali bernostalgia.
"M-maafkan saya, Prof. Ahn."
"Bertanyalah pada teman-temanmu dan kerjakan ulang tugas ini. Kim Jaehwan, maju dan presentasikan tugasmu." Prof. Ahn kembali ke kursinya seraya memanggil mahasiswa lain untuk mempresentasikan tugasnya. Aku kecewa, tentu saja. Kerja kerasku hanya terasa bagai angin lalu.
Selain itu, hal yang lebih parah mungkin akan terjadi setelah hari ini.
Aku menunduk, memaksakan lenganku yang gemetar untuk mencabut adapter dan laptop, membawanya bersamaku ke tempat duduk belakang setelah mengambil ransel yang sebelumnya kuletakkan asal di salah satu kursi depan.
Sebisa mungkin aku mengikuti mata kuliah hari ini, meski hatiku terasa sakit, bersama dengan bayang-bayang Prof. Ahn yang terasa bak noda hitam di pikiranku.
Maafkan aku Prof. Ahn, jika setelah ini sikapku berubah.
Maafkan aku yang tak bisa memaklumi sikapmu tadi.
Dan maafkan aku bila nantinya, aku akan menjadi pengecut dengan sikap menghindarku.
FACE Bagian 3: Aku yang tak akan mudah terbiasa.
END
Selamat membaca dan semoga suka 😊
Saranghae 💕
Kuroi Ilna

KAMU SEDANG MEMBACA
FACE
Fiksi PenggemarJangan hanya melihatku dari luar. Karena apa yang kau lihat, belum tentu apa yang sebenarnya kurasakan.