Prolog

15 1 0
                                    


"A Arsen, aku belum meninggal," suara itu begitu lirih seperti hembusan angin yang menelusup masuk ke dalam telinga Arsen.

Langkah Arsen terhenti begitu melihat perempuan berdress hitam menghalangi jalannya, yang tiba- tiba sudah berdiri di tengah lorong Rumah Sakit dan memanggil namanya. Apa katanya? ‘Dia belum meninggal’ Apa maksudnya? Arsen benar- benar tidak mengerti apa yang dikatakan perempuan ini.

Iris mata hitam itu menatap mata karamel milik Arsen dengan tatapan  kosong, tapi terdapat kesedihan yang mendalam. Detik berikutnya sudut mata perempuan itu berair membasahi wajahnya yang pias.

Hati Arsen merasa di remas melihat kesedihan di dalam mata almond itu.
"Ini." Perempuan itu menyodorkan satu buket bunga tulip merah yang entah sejak kapan sudah berada di tangannya. Saat Arsen meraih buket itu tidak sengaja menyentuh tangannya, refleks Arsen menjingkat merasakan begitu dingin tangan perempuan ini seperti mengengam es batu, sangat dingin.

Setelah buket itu berada di pelukan Arsen. Lalu perempuan itu menyodorkan buku bersampul coklat, sampul depan terdapat gambar menara Eifel menjulang tinggi memenuhi buku itu dan terdapat nama di sampul itu Mahathasafa Atyama.

"Apa ini?"

Sebelum Arsen bergerak membuka buku itu, sesuatu yang hitam menariknya masuk kedalam cahaya putih menyilaukan.

Buket bunga dan buku yang di pegang Arsen menghilang. Arsen menyapu pandangan, ia tidak berada di lorong lagi melainkan di sebuah ruangan serba putih.

Arsen bergerak menghampiri seorang perempuan yang terbaring di ranjang putih. Terdapat beberapa selang di tubuhnya yang terhubung  dengan alat kotak di samping ranjang. Kepala dan tangan kanannya di balut perban, alat pernafasan berada di antara hidung dan mulutnya. Mata perempuan itu tertutup rapat.

Arsen merasa tidak asing dengan perempuan ini atau bahkan perempuan yang tadi ia temui di lorong. Karena mereka perempuan yang sama, hingga satu nama terlintas di benak.

Arsen terbelalak, "Dia kan..."

******
Arsen membuka matanya dengan nafas yang memburu, pelipisnya basah di penuhi keringat. Tengorokannya sangat kering, lalu beranjak duduk meraih air minum yang selalu di sediakannya di atas nakas, tapi gelasnya kosong.

Arsen beranjak turun dari ranjang sambil membawa gelas ke dapur untuk di isi. Arsen duduk di kursi makan meneguk air yang di ambilnya, lalu menyimpan gelas di bak cuci.

Pikirannya menerawang pada mimpinya barusan. Ia sepertinya mengenal perempuan di mimpinya itu, tapi di mana dan siapa?

Arsen beranjak menuju kamar adiknya untuk meyakinkan hatinya apa benar orang yang di mimpinya orang yang sama. Dengan langkah mengendap Arsen melangkah menuju nakas meraih ponsel Yara. Jarinya terus bergerak sampai akhirnya Arsen melihat foto orang yang sama, tapi tidak sepias di dalam mimpinya.

“Ini nggak mungkin! Pasti mimpi itu salah.”

Arsen tidak yakin dengan penglihatannya. Ia mengucek matanya dan wajah di foto itu tidak berubah. Yang Arsen tahu Safa baik- baik saja, terakhir bertemu saat adiknya dan Safa wisuda beberapa tahun lalu bahkan perempuan itu tumbuh menjadi perempuan dewasa yang cantik.

Jika ada sesuatu hal yang terjadi Arsen pasti tahu dari Farhan. Sekarang Arsen hanya bisa berdoa semoga mimpinya tidak menyiratkan apapun. Dan Safa baik- baik saja.

******

Real Dream (Sudah Terbit)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang