*****Suara nyaring yang dihasilkan dari gesekan benda stainless di sebuah dapur mungil itu mengisi keheningan sebuah kostan yang hanya dihuni oleh kaum wanita.
Tiga orang gadis dengan pakaian piyama, muka bantal dan bisa jadi masih bau iler itu, sibuk berkutat di dapur, demi menjalankan jadwal piket memasak dan bersih-bersih yang menjadi tugasnya sabtu pagi ini.
Mereka bertiga, Nisa, Keyla dan Astari menempati sebuah rumah besar yang telah diubah menjadi kos-kosan yang terdiri dari dua belas pintu.
Astari sang pemimpin piket, sibuk menginstruksikan pada kedua kawan setimnya untuk mencacah daging ayam dan wortel yang akan dibuat nugget. Dia sendiri sibuk memotong terong yang akan dimasak balado.
"Kenapa nggak pake blender aja si Tar, kan jadi lama nyincangnya," keluh Keyla yang sedang mencacah fillet ayam yang belum juga selesai sejak tadi. Selain malas, gadis berambut kribo itu memang masih mengantuk. Tadi saja Astari harus membangunkannya berkali-kali, juga mengancamnya tidak akan memberinya jatah makan pagi dan siang, jika gadis itu tidak mau membantunya memasak.
"Jangan ngomong terus makanya, biar cepet kelar," timpal Astari tanpa menoleh. Tangannya sibuk menguleg bumbu balado.
"Tau tuh, ngeluh mulu dari tadi. Kerjain biar cepet kelar." Nisa turut menyahuti. "Kalau udah kelar, nanti kita bisa ngirim ke Rumah Induk. Kan katanya si Abang sekarang balik dari Kalimantan. Gue kangen lihat wajah gantengnya." Bibir Nisa yang senyum-senyum nggak jelas memicu kedua temannya membunyikan koor panjang dan melemparinya dengan daun salam kering.
"Inget Joko, woy!" Keyla setengah berteriak mengatakan itu. Suasana dapur yang sejak lima belas menit lalu hening kini berubah riuh.
"Gue inget kali, Nis. Si Joko kan emang pacar tercinta gue." Keyla menampilkan ekspresi orang muntah saat mendengarnya. "Kalau si Abang kan ya, buat cuci mata lah. Masa gue nggak boleh menikmati karya Tuhan yang seganteng itu sih," Nisa berdalih. Nisa memang sudah jatuh pada pesona lelaki yang dia panggil Abang. Lelaki yang tak lain adalah pemilik kos-kosan yang mereka huni.
"Iya, tapi nggak segitunya juga kali tuh muka. Keliatan mupeng banget." Keyla masih saja sinis. Bukan dia tak suka melihat temannya memuji Abang Pemilik kosan. Hanya menurutnya tingkah Nisa sudah over. Dan bisa dikategorikan gila. Mengidolakan duda beranak satu sampai mengoleksi CD-nya.
"Alahhh ... lo kayak nggak mupeng aja sih lihat si Abang," balas Nisa.
"Iya, tap ...."
Prang!
Astari memukulkan sutil ke wajan, dan menimbulkan bunyi nyaring yang sedikit memekakan telinga. Dia terlalu bosan mendengarkan obrolan unfaedah teman seatapnya itu.
"Diem!" Aura galak nampak di wajah ayu Astari. Membuat kedua temannya diam seketika. "Kalau kalian masih ngributin tuh Abang nggak jelas itu, sana! Nggak usah bantuin, biar gue yang masak sendiri."
"Iya deh, Tar, gue diem nih." Keyla pasrah, daripada nggak dapat jatah makan.
"Gue juga deh." Nisa mengimbuhi.
Satu jam kemudian menu terong balado serta nugget ayam dan sayur sudah terhidang di meja makan.
"Akhirnya kelar juga nih masakan." Nisa tersenyum lega melihat jajaran masakannya di meja, lengkap dengan nasi putih, kerupuk udang dan dua teko jus alpukat.
"Iya, untung ada gue," kata Keyla dengan jumawa yang dihadiahi toyoran oleh Nisa. Sedangkan Astari hanya geleng-geleng kepala.
"Ya udah, panggilin gih, anak-anak. Gue mau mandi dulu." Astari berujar pada kedua temannya.
"Siap, Bos." Itu suara Keyla yang berlagak memberi hormat.
Nisa senyum malu-malu. "Gue mau nyiapin buat si Abang aja ya, Tar."
Astari mendengkus. "Terserah."
....
Kursi di ruang makan terlihat penuh diduduki para gadis yang tengah menikmati makan pagi mereka. Tidak semuanya, karena memang hanya tersedia delapan kursi di sana. Beberapa memilih menyantap makanannya sembari menonton TV di ruang depan.
"Permisi." Suara bas seorang lelaki menghentikan celotehan gadis-gadis di ruang depan. Ke empat gadis tersebut menoleh ke titik suara dan mendapati sesosok lelaki gagah, berdiri di ambang pintu dengan senyum menawan.
"Abang Fik," seru salah satu gadis. Dia beranjak dari duduknya dan menghampiri lelaki itu. "Ada yang bisa dibantu, Bang?"
Ketiga gadis yang berada di belakangnya bersorak heboh, mendengar suara sok manja salah satu kawannya. Namun gadis di depan lelaki itu hanya bergeming. Fokusnya kini hanya pada lelaki di hadapan.
"Oh, saya mau mengembalikan ini." Lelaki yang biasa dipanggil Bang Fik itu mengulurkan mangkuk plastik bermerek. "Terima kasih."
"Ya Bang, sama-sama."
"Masakannya enak sekali. Boleh saya tahu siapa yang masak?"
Gadis di hadapan Bang Fik itu melongo. Dia menjewer telinganya, barangkali salah dengar. Sementara tiga temannya di belakang sana cekikikan disertai gumaman "sukurin."
Batinnya tersentil. Dia yang sudah tebar pesona, kalah sama yang ngasih sepiring terong balado.
"Oh itu, anaknya ada di belakang, Bang. Kebetulan baru dua minggu di sini. Jadi kayaknya Abang belum kenal deh."
Lelaki itu mengangguk paham. Dia cukup hapal penghuni tempat kos miliknya. Dan siapa saja yang masakannya cukup enak, juga dia hapal. Tapi baru pagi ini dia merasa berbeda dengan masakan yang baru saja ia nikmati. Terong baladonya begitu khas, ada tambahan lengkuas dan daun salam. Terongnya sendiri digoreng hampir kering. Berbeda dengan yang seperti ia makan sebelum-sebelumnya. Tepatnya setelah dia menghilang.
Rasa itu mengingatkannya pada seorang gadis di masa lalunya.
Mungkin lelaki itu terlalu de javu. Hanya dengan terong balado, dia bisa ingat tentang seseorang. Siapa pun bisa masak makanan sederhana itu.
"Maksudnya di ruang makan?"
"Iya, Bang. Masuk ajalah. Kosan ini kan juga punya Abang."
"Baik. Terima kasih, Sisi."
Lelaki itu selangkah demi selangkah memasuki bagunan miliknya. Rasa penasaran membuatnya harus melakukan ini semua, meski dia sendiri tidak yakin jika yang memasak terong balado adalah wanita di masa lalunya.
Sampai di dinding pemisah antara ruang depan dengan ruang makan, lelaki itu menghentikan langkahnya. Fokusnya terhenti pada siluet tubuh yang cukup dikenalnya.
Punggung wanita berbalut kaos lengan pendek dengan rambut bergelombang yang dibiarkan tergerai. Benarkah itu dia?
"Loh ada Bang Fik." Salah satu gadis yang sedang menikmati makanan menyadari kehadiran lelaki itu. "Cari siapa, Bang?"
Lelaki itu tidak menjawab, tetapi bibirnya masih menyunggingkan senyum tipis yang membuat para gadis saling berbisik. Sementara fokus lelaki itu masih jatuh pada punggung wanita yang diyakininya adalah dia.
"Astari." Suara beratnya menggumamkan nama itu.
Sang pemilik nama yang sejak tadi hanya diam, tak menghiraukan suasana ruang makan yang mendadak heboh karena kehadiran seorang lelaki, akhirnya menoleh.
Sepasang netra berbeda warna itu bersirobok. Keduanya sama-sama terkejut dengan pertemuan tak terduga mereka. Tidak, justru Astari di sini yang benar-benar terkejut. Sosok lelaki di masa lalunya, yang coba dia lupakan dengan susah payah, berdiri gagah dengan senyum menawan.
Taufik Baskoro
KAMU SEDANG MEMBACA
We Meet Again
General FictionAstari meninggalkan kota itu dan memilih kembali ke kota kelahirannya, demi menyelamatkan hatinya yang dipatahkan oleh seorang lelaki. Dia bersumpah tidak akan dengan sengaja menginjakkan kakinya di kota itu. Karena hatinya yang telah hancur bisa sa...