Tiga per Empat

117 10 19
                                    

Written by. felice_pen

.

"Bertemu dengan seorang prajurit kerajaan.

Api,

Tidur.

Salju,

Kemudian mati."

Untuk kedua kalinya, saya mati demi Jeon Jeongguk; manusia umur pendek yang tidak pantas barang sekadar untuk masuk ke dalam lingkup hidup saya.

.

Kemampuan sihir Jimin begitu saja lepas, sehingga luka di tubuhnya berangsur pulih begitu saja. Namun begitu, hanya fisiknya yang bersih tanpa cedera; kesadarannya hilang entah ke mana, nyawanya tinggal separuh dan tidak berada di raga.

Saya dan Jimin ternyata sama saja bodohnya.

Saya dan Jimin sekarang ini sama saja. Nyawa tinggal separuh yang luntang-lantung tak jelas hidup dan matinya. Saya ingin tahu, jika separuh nyawa Jimin ada di raganya yang lemah—separuh yang lain apa sudah mati?

Napas Jimin terputus-putus, ditarik pelan-pelan kemudian dibuang lamban sekali. Tubuhnya berada di dalam rengkuhan Jeongguk yang tak pernah meninggalkan sisinya. Sudah beberapa hari saya hanya termenung memandangi keduanya; bagaimana Jeongguk selalu mengajak Jimin bicara walau tahu tak akan ada jawaban darinya, bagaimana Jeongguk membungkus tubuh Jimin yang dingin dalam gulungan selimut, bagaimana Jeongguk pasti menghabiskan porsi makanannya di hadapan Jimin yang tertidur sambil terus bertanya, "Kau lapar? Mau bangun?"

Lantas Jeongguk yang juga memeriksa jendela nyaris setiap saat untuk memastikan; salju belum turun.

Saya menahan air mata ketika Jeongguk dengan hati-hati berbisik pelan di depan telinga Jimin.

"Jangan dulu mati, ya?"

Dari waktu ke waktu, saya habiskan untuk mengamati Jimin. Saya dari dunia ini. Ingin tahu perasaannya untuk Jeongguk hanya iba atau memang benar cinta. Tidurnya tenang sekali, tidak tahu kapan akan bangun. Posisinya hanya akan berubah kalau Jeongguk yang mengubahnya, satu-satunya hal yang barangkali bisa membuat Jeongguk masih bisa memaksakan diri untuk terlihat tenang adalah napas Jimin yang putus-putus.

Telapak tangan Jeongguk selalu diletakkan di atas dada Jimin; di setiap malam keduanya berbagi tempat berbaring. Jeongguk pernah bilang, setidaknya Jimin masih bernapas ketika saya dapati ia menangis sendirian di lekuk leher Jimin.

Jeongguk di dunia ini mencintai Jimin, maka saya hanya ingin lebih mengusahakan soal mereka.

.

Kejadiannya belum terlalu lama.

Saya hanya baru sadar—kemudian mengutuk kebodohan saya sendiri—kalau ternyata saya hanyalah jiwa separuh mati, tak akan pernah bisa mencapai orang-orang hidup. Saya yang telah tinggi hati, menjadi sombong seolah benar-benar bisa menyembuhkan luka Jeongguk di tengah perangnya, seolah saya yang telah membelokkan arah panah yang melesat menuju Jeongguk, seolah saya yang selama ini telah menjauhkan Jeongguk dari segala bahaya. Ketika nyatanya semua itu tidak benar.

Bukan saya yang membuat luka Jeongguk sembuh, bukan saya yang membelokkan arah panah, bukan saya yang selama ini melindungi Jeongguk dari bahaya.

PermenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang