PROLOG

61 33 36
                                    

November 2005

Aku bersembunyi dibalik pintu kamarku, sambil memeluk boneka panda hadiah ulang tahun dari Papa sebulan yang lalu. Suara pukulan yang cukup keras itu berasal dari ruang keluargaku, membuatku semakin takut hingga air mataku jatuh membasahi pipi.

Hampir setiap malam aku selalu mendengar kedua orang tuaku yang bertengkar. Aku pun tidak tahu apa penyebabnya karena aku tidak paham dengan apa yang mereka bicarakan, usia lima tahun tak mudah kan untuk mencerna pembahasan orang dewasa. Pertengkaran itu selalu terjadi ketika Papa pulang larut malam, jika Papa pulang lebih awal aku tidak akan mendengar suara yang membuatku takut sampai aku bersembunyi di balik pintu kamarku.

Aku sangat takut malam itu, benar-benar takut. Entah sudah berapa kali aku mengatakan kata 'takut', karena memang saat itu yang aku rasa hanya takut. Takut mendengar pukulan yang tidak pernah terjadi dimalam sebelumnya, takut mendengar teriakan, dan juga takut jika Papa akan menyakiti Mama.

'Plakk..'

Pukulan kedua yang aku dengar malam itu, semakin membuatku takut dan juga gelisah. Aku ingin keluar dari tempat persembunyian tapi aku takut jika aku akan menjadi mangsa Papa selanjutnya. Aku hanya menangis dan semakin erat memeluk boneka panda pemberian Papa.

"Sudah hentikan, Mas! Aku takut Tania dengar,"

"Biarin Tania dengar, kan kamu yang mulai dulu. Dikit-dikit curiga, dan mancing aku,"

Aku mendengar semua perdebatan antara Mama dan Papa tapi aku tak mengerti apa maksud dari semua yang diperdebatkan. Tak lama suara Mama dan Papa berhenti, rumahku menjadi hening, seketika aku mendengar langkah kaki yang semakin lama suaranya semakin keras dan sepertinya menuju ke kamarku. Tanpa berpikir lama, aku segera lari ke ranjang tempat tidurku dan memejamkan mata.

Terdengar decitan pintu kamarku terbuka, "Selamat malam sayangku, Mama harap kamu sudah tidur dan tidak mendengarkan pertengkaran Mama dan Papa," Selepas kudengar ucapan itu, pintu kamarku tertutup kembali.

🚀🚀🚀

Pukul sebelas siang, aku menunggu jemputan Bi Inah di depan pagar TK ku. Satu per satu temanku pulang bersama Mamanya atau Papanya. Terkadang aku iri kepada mereka, yang selalu diantar atau dijemput sama Mama Papanya. Jika pagi hingga menjelang petang Mama dan Papa sibuk dengan pekerjaannya, jika malam mereka selalu berdebat. Aku tidak tahu apa yang diperdebatkan. Tapi aku merasa bersalah mengapa aku dilahirkan di dunia ini, jika aku adalah sumber permasalahan dari perdebatan mereka. Jadi mereka tidak ada waktu untuk bermain atau sekedar mengantar jemput aku.

"Kamu masih belum dijemput?"

Seorang anak laki-laki yang berseragam sama dengan berdiri di sampingku. Rambutnya keriting dan wajahnya pun imut.

"Belum," jawabku acuh.

"Yasudah, sama. Aku juga menunggu jemputan sopirku," katanya sambil membenarkan posisi tasnya yang tidak nyaman.

"Oh," balasku singkat dengan wajah datar karena aku sama sekali tak berminat untuk diajak bicara saat itu.

"Namaku Dennis, aku TK besar," ucapnya sambil menjabatkan tangan berniat untuk berkenalan denganku.

"Jemputan ku sudah datang," kataku yang berjalan menuju Bi Inah yang berdiri tak jauh dariku dengan payung bewarna putihnya.

Aku mengacuhkan anak laki-laki itu dan meninggalkannya, moodku sudah hancur karena kejadian kemarin. Aku hanya ingin diam dan diam hari itu.

Sesampainya dirumah, aku mengambil selembar kertas yang ada didalam tasku. Bi Inah yang habis menutup pintu itu menghampiriku, dan duduk di sebelahku. Aku menunjukkan kertas itu, di kertas itu terdapat gambaran anak laki-laki dan anak perempuan ditengah mereka ada sebuah roket yang menghalangi mereka.

"Anak laki-lakinya itu siapa Ri?" Tanya Bi Inah sambil menunjuk anak lelaki digambaranku.

"Tidak tahu, Bi. Aku iseng aja gambarnya." Kutaruh kertasku diatas sofa, "Tapi aku menggambar roket ini tidak iseng, Bi. Aku ingin terbang ke bulan sama roket ini, aku tidak mau di sini karena aku ingin Mama sama Papa gak bertengkar lagi karena aku,"

Setelah berkata seperti itu, aku langsung masuk kedalam kamarku dan menghiraukan panggilan Bi Inah yang menyuruhku untuk makan siang. Aku menangis sejadi-jadinya karena penyesalan kenapa harus ada aku lahir di dunia ini. Tangisku meledak dan hingga tidak terasa aku terlelap dalam tidur.

5-12-2018

SementaraTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang