01: Ujian dan Remedial

53 5 4
                                    

“Mentang-mentang jam kosong pada ribut ya?” Bu Zen—guru ekonomi—masuk sambil memukul meja dengan buku. Matanya mengedar tajam, murid-murid di hadapannya bukannya menunduk ketakutan malah tersenyum tanpa rasa bersalah. “Cengengesan lagi! Ini ulangan minggu kemarin dibagikan, besok selesai Pramuka langsung ke kelas IPS 3 untuk remedial.”

Angga—ketua kelas 11 IPS 1—maju untuk mengambil hasil ulangan dan langsung membagikannya. Ia melangkah, membagikan hasil ulangan Ekonomi dengan tampang serius. Namun, ketika kakinya mencapai meja milik seorang lelaki dengan rambut spike ia tertawa. “Mampus lo remed.” Ujarnya sambil menaruh kertas tersebut di atas mejanya.

Muhammad Bagaskara tertulis di pojok kanan dan angka 74 tertulis di pojok kiri. Bagas berdecak, kesal. Nyaris! Nyaris dia lolos.

Bagas menaikkan tangannya, mendapat perhatian dari Bu Zen. “Bu, kalau yang nilainya 74 remed juga? Almost ini Bu, almost!”

Siti yang duduk di depannya tertawa, menunjukkan kertas ujiannya dengan sombong. “Nih, begini makanya bosku. Belajar!”

Bagas mendecih, beda poin mereka hanya 0.2 tetapi sombongnya Siti seperti nilai dia sudah sempurna. Bu Zen menimbang beberapa saat kemudian mengangguk, “ya pokoknya besok kamu datang dulu. Yang nilainya di bawah 75 wajib datang setelah Pramuka ya. Di IPS 3, inget! Kalau gak dateng gak ada remed susulan, saya capek ngurusinnya.”

Setelah mengatakan hal tersebut, Bu Zen pamit. Baru satu langkah ia keluar, keributan terjadi. Kaum yang tidak remedial menyombongkan diri, kaum yang ikut remedial mencaci maki dengan segala jenis doa dan peringatan karma.

“Ya Allah, semoga di ujian selanjutnya roda terus berputar ya Allah.” Vanya memanjatkan doa dengan penuh penghayatan. Suaranya sengaja dibuat kencang agar kaum yang sombong tersentil hatinya.

Sayangnya, kaum sombong malah tertawa. Yolanda yang kebetulan mendapat nilai 80 menepuk pundak Vanya sambil tersenyum bak malaikat. “Nya, Allah gak pernah tidur. Tahu mana yang belajar mana yang kerjaannya main Hoga.”

Sautan Yolanda dibalas dengan tawa, terutama ketika melihat wajah nelangsa Vanya. Salah dia terlalu meremehkan dan malah bermain adu domba di ponsel.

“Bener-bener ye lu pada baru pada gak remed aja belagu, noh Dimo yang kaga pernah remed diem-diem bae!” Aida si kecil dengan suara besar menyambar dari pojok belakang.

Fikri menyambar kertas milik Aida kemudian memamerkannya pada yang lain. “Inilah contoh anak yang iri dan dengki teman-teman. Mari kita doakan agar sifatnya perlahan berubah menjadi lebih baik. Amin.”

Aida langsung naik ke atas meja dan menjambak rambut Fikri. Masalahnya Fikri ini terkenal paling tinggi seangkatan dan tentu untuk seorang Aida perlu banyak usaha kalau mau jambak mantan teman sebangkunya itu. “AH! Cabe rawit! Sakit ih! LEPASSSSSS! BARBAR BANGET SIH JADI CEWEK, NAJIS!”

Aida membalas dengan jambakan yang makin kencang, Fikri bahkan yakin ada helaian rambutnya di tangan gadis berambut sebahu itu. “BODO AMAT! MAKANYA MULUT LO TUH DIJAGA!”

“Ya, cangcimen*, cangcimen!” Seru Febhy sambil berputar menawarkan sebungkus kuaci. Yang lain menggeleng melihat kelakuan Aida dan Fikri, tetapi tangan sibuk membuka kuaci sambil menonton.

Dimo yang duduk di pojok dekat pintu hanya bisa mengusap dadanya. Penyesalan memang datang terlambat, Dimo harusnya milih IPA saat penjurusan kelas 10. Sekarang ia hanya bisa pasrah.

Selagi keributan berlangsung, Bagas memilih keluar dari kelas dan duduk di bangku panjang. Ia menatap kertas ujiannya, nelangsa. Ekonomi itu satu-satunya mata pelajaran yang bisa Bagas banggakan, eh sekarang kebanggannya tercoreng. Salahnya gak teliti saat menjawab soal dan terlalu percaya diri tanpa mengecek ulang. Tamparan luar biasa karena seorang Bagas biasa mendapat nilai di atas 85 untuk pelajaran ini. Kalau pelajaran lain sih Bagas sudah biasa ikut remedial, tetapi Ekonomi?

Bagas Love StoryTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang