Sebuah cerpen oleh,
Euis Shakilaraya
Aku memandangi laptop yang masih menyala sejak dua jam yang lalu. Tak ada satu kata pun yang dapat aku tulis. Rasanya seperti pikiranku berhenti pada satu titik yang bahkan aku tak mampu menggambarkannya. Aku menoleh ke arah jam dinding yang tepat menunjukkan pukul 3 dini hari. Bagaimana aku dapat menyambut hari esok dengan senyum secerah matahari. Sedangkan bekal untuk menghadapinya, belum selesai sama sekali. Aku merebahkan tubuhku dan membiarkan penat yang sedari pagi menggangguku sedikit mengurai.
"Saya sayang sama kamu. Tapi sebaiknya kita nggak perlu punya hubungan lebih dari sekedar temen, Ra." Seperti itu kirakira perkataan Gio padaku saat kami sedang sarapan bersama di kantin kantor. Saat itu aku tak dapat mengangguk atau menggeleng. Perkataannya membuatku kaget dan hanya satu hal yang membuatku berteriak kencang dalam hati,
"Gue diputusin? Tapi kenapa?"
Sayangnya, pertanyaan itu tertahan di tenggorokan. Aku bahkan tak mampu menyelesaikan sarapanku. Satusatunya hal yang dapat aku selesaikan dengan cepat adalah pekerjaanku. Karena seharian penuh yang aku pikirkan hanyalah bagaimana caranya aku segera enyah dari hadapan Gio. Aku bangkit dan kembali menatap laptopku.
"Ah, sial. Ga bisa nulis sama sekali."
Aku menyerah dan mematikan laptop. Aku menggulung tubuhku dengan selimut tebal yang biasanya sangat nyaman. Tapi tidak untuk malam ini. Aku pikir, aku sudah terbiasa dengan siklusnya. Didatangi lantas ditinggalkan. Dicintai lantas dicampakkan. Aku hampir selalu baikbaik saja. Tapi kenyataan bahwa hal itu masih mengganggu, membuatku menggigil hebat. Mengapa Gio memilih untuk pergi sedangkan tidak ada masalah yang terjadi. Semuanya baikbaik saja. Apa memang sedang ngetrend meninggalkan seseorang saat tak ada masalah apapun? Aku semakin menenggelamkan tubuhku ke dalam selimut. Satu dua tetes airmata mulai membuat ujung bantalku basah. Dengan tak tahu malu, aku meraih handphoneku dan mengirimkan sebuah chat melalui aplikasi Line ke Gio.
"Gi... sudah bosan sama aku?"
Tak lama kemudian, tanda R menunjukkan bahwa chatku telah dia baca. Dia belum tidur ternyata.
"Iya, Ra."
"Sudah nggak bisa samasama lagi?"
"Maap ya, Ra."
"Tapi aku sayang sama kamu."
"Saya juga."
"Tapi kenapa? Kalau sekedar bosan, kamu boleh menjeda beberapa waktu. Ga perlu hubungi aku. Banyak cara Gi."
"Saya hanya sudah nggak bisa aja, Ra."
"Iya, tapi aku perlu tahu alasannya."
"Sederhana, sudah tidak bisa."
Dadaku terasa penuh dan mataku memanas. Bagaimana bisa seseorang yang sudah bersama denganku hingga dua tahun, begitu tega mengucapkan kalau dia sudah tidak bisa menjalani hubungan lagi denganku.