Awal Kehancuran
Mata bulat itu mengerjap lucu, memperlihatkan bola mata berwarna coklat terang yang indah dipandang mata. Ditolehkan kepala ke kanan dan ke kiri untuk mengamati sekitar. Gelap. Anak enam tahun itu baru menyadari kalau ia terbangun di tengah malam. Walau gelap, masih ada cahaya bulan yang menembus tirai di jendela. Membantu matanya untuk melihat kondisi sekitar. Ia lantas berdiri dan mengambil buku cerita di atas nakas.
Kebiasaannya, tak bisa tidur lagi kalau sudah terbangun. Maka jalan satu-satunya yang terpikir adalah meminta orang tuanya membacakan dongeng pengantar tidur. Langkah kecil membawanya ke kamar yang berada di samping kamarnya sendiri. Tanpa mengetuk pintu, ia langsung memasuki kamar besar itu.
Namun yang ia dapati hanya kekosongan. Biasanya, papa dan mamanya sudah tidur di atas kasur. Tapi kali ini lain, tidak ada siapa pun.
"Mama? Papa?" Tetap tak ada jawaban.
Samar-samar ia mendengar suara papa dan mamanya di lantai bawah. Apa mereka di sana? Tanpa pikir panjang ia melangkahkan kaki kecilnya menuju tangga di dekat kamar yang tadi dimasukinya.
"Wanita macam apa kamu, Narin. Aku mencoba bertahan selama ini, tapi apa yang kamu lakukan di belakangku hah??"
Anak kecil itu menghentikan langkahnya di pertengahan tangga. Untuk apa papanya berteriak-teriak sambil menyebut nama sang mama? Ia mulai takut, tak pernah selama ini papa dan mama bertengkar seperti itu.
"Aku capek mas. Aku manusia, aku punya batas. Menurutmu mudah menjalani pernikahan tanpa cinta? Aku wanita mas, tidak seperti kamu yang hidup tanpa perasaan." Teriak sang mama sambil menunjuk-nunjuk wajah papa.
"Aku punya pilihanku sendiri mas, dan aku hanya akan hidup dengan pilihan itu." lanjut mama lagi. Bisa anak itu tebak, kalau sang mama saat ini tengah menangis. Walaupun mama berteriak, tapi suaranya bergetar.
"Mama?" Ia mencoba menarik kedua orang tuanya dari pertengkaran itu, tapi mereka mungkin tak memedulikan karena terlalu sibuk beradu mulut.
"Menurutmu dengan selingkuh akan menyelesaikan semua?! Aku tidak masalah kalau kamu tidak mencintaiku karena aku pun sama. Tapi jalan yang kamu pilih itu menunjukkan bahwa kamu tidak lebih dari sebuah sampah. Setidaknya kamu juga pikirkan perasaan Dava. Dia masih butuh ibunya."
Selingkuh? Kenapa namanya juga disebut-sebut? Sungguh ia tak paham dengan apa yang kedua orang dewasa itu perdebatkan?
"Aku tidak tahan lagi mas. Aku nyerah!! Aku juga berhak bahagia, aku titip Dava."
Plakk
Anak kecil yang bernama Dava itu kaget bukan main saat papa menampar mamanya. Air matanya mulai menetes, sungguh ia mulai ketakutan dan terisak pelan.
"Ibu macam apa kamu?! Meninggalkan anak sendiri cuma buat selingkuhan. Dasar tidak tahu diri, menurutmu buat apa selama ini aku bertahan? Cinta? Bullshit, kamu tahu pernikahan kita tanpa perasaan. Aku bertahan hanya untuk Dava, dan kamu? Seperti wanita rendahan tak punya malu yang tega meninggalkan anaknya sendiri."
Emosi sudah meluap-luap pada sang istri, tapi ia mencoba menahannya sebaik mungkin. Ia tak ingin anaknya terbangun karena suara pertengkaran mereka. Yang tidak ia tahu, kalau anaknya sudah menontonnya sedari tadi.
"Cukup mas!!" Teriak ibunya.
Buku cerita yang Dava genggam kini sudah terjatuh di bawahnya. Isakannya membesar menjadi tangisan. Apa yang sesungguhnya dibicarakan orang tuanya. Ia tak paham, ia masih enam tahun.
Syukurlah tangisannya bisa menarik perhatian kedua orang dewasa itu. Akhirnya papa dan mama sadar kalau sedari tadi Dava memperhatikan mereka.
"Dava." Panggil sang mama lembut sambil mengusap air mata di pipi. Bekas kemerahan berbentuk tangan masih ada di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sorry, DAVA
Teen FictionMadava Zidan Chakrawangsa. Perpisahan kedua orang tuanya tentu memiliki dampak tersendiri baginya. Belum lagi penyakit yang menyertainya sejak terlahir di dunia. Keterpurukan tak lagi dapat dihindarkan. Dava berubah, menjadi sosok dingin dan tak t...