[03]

5K 438 159
                                    

Muak

Suasana ramai dan ribut begitu Dava menginjakkan kaki di rumah yang bagaikan istana itu. Wajar, hal tersebut sudah sering didapatinya saat ia menghilang beberapa jam saja tanpa kabar. Papanya pasti sudah kelimpungan mencarinya kemana-mana. Menyebar pengawal disana-sini untuk mencarinya sambil marah-marah tidak jelas. Buang-buang uang dan tenaga hanya untuk hal yang tidak penting.

Saat berpapasan dengan bawahan papanya, Dava bisa melihat raut kelegaan di wajah masing-masing. Mungkin karena ia sudah pulang, sehingga mereka tak perlu lagi menghadapi papanya yang audah seperti setan bertanduk. Tapi tak ada satu pun di antara mereka yang berani angkat bicara, hanya menunduk. Mereka terlalu segan karena status bawahan dan anak majikan.

Di ruang tamu, ia bisa melihat papanya duduk di sofa sambil memijat pelipis. Seperti berpikir berat saja.

“Dava, kamu sudah pulang? Darimana saja, nak? Kamu nggak papa kan?” Suara lembut itu mengalihkan perhatian Dava dan Gema ke arah sumber suara. Fanya, datang-datang dan langsung menagkup kedua pipi Dava. Lantas dibalik kanan-kiri untuk memastikan bahwa anak tirinya itu baik-baik saja, tidak ada yang kurang satu pun.

“Aku nggak papa, Tante. Cuma dari rumah temen aja udah heboh kayak gini.” Dava sedikit melirik ke arah papanya yang kini berjalan mendekat ke arah mereka.

“Kamu sih pakai acara kabur-kaburan segala. Kita semua kan khawatir.” Fanya tetap menasehati dengan lembut walau pun tahu kalau pada akhirnya Dava tetap tak akan menurut. Sebenarnya hal seperti ini sudah terjadi berulang kali.

Dava rasanya ingin menertawai mama tirinya itu. Khawatir? Semua orang? Dava pikir itu sangat berlebihan. Dia hanya pergi selama kurang lebih lima jam. Tapi mereka memperlakukannya seperti sudah hilang selama lima bulan saja.

“Ikut papa!” Akhirnya sang papa angkat bicara. Beliau hendak pergi begitu saja, tapi tangannya dicekal oleh Fanya. Mama tirinya itu menggelengkan kepalanya lemah, seolah meminta agar suaminya tidak melakukan apa pun dengan Dava dulu. Tabiat suaminya sejak dulu.

“Mas, biarin Dava istirahat dulu.”
Tapi sepertinya permintaannya tak digubris. Lelaki berkepala empat itu tetap pergi menuju ruang kerjanya. Dava mengikuti saja daripada nantinya masalah bertambah panjang. Hal itu akan sangat merepotkan.

“Duduk!” perintah papanya setelah menutup pintu.

Dava langsung duduk di sofa di tempat kerja ayahnya ini. Tempat ini memang dilengkapi sofa melingkar di tengah ruangan, dengan meja di tengah-tengahnya. Berfungsi sebagai tempat yang papanya gunakan untuk membicarakan masalah pekerjaan bersama rekan-rekan kerjanya bila masalah itu terpaksa harus dibawa pulang. Ada juga meja kerja, kursi, lemari berkas serta beberapa hiasan lain di ruangan itu. Dava akui selera papanya dalam menata ruangan memang bagus.

Papanya menyusul duduk di depannya. Mentapnya lekat-lekat. Tapi Dava lebih memilih menunduk saja. Percayalah, papanya saja sudah menakutkan, apalagi jika sedang menatap seperti itu.

“Kemana saja kamu?” tanyanya tanpa basa-basi. Tipikal papanya sekali.

“Main sama temen.” jawab Dava jujur. Lagian tak ada gunanya berbohong.

“Temen yang mana?” Memangnya penting pertanyaan seperti itu? Dava sampai heran.

“Yang biasa.” Bukankah papanya sendiri yang membatasi lingkungan pertemanannya. Seharusnya papa tahu siapa saja temannya, teman yang lolos sesuai kriteria papanya. Sejujurnya, hal itu sedikit menyulitkan Dava. Ia bukan anti sosial yang tak butuh teman. Ia tetap ingin merasakan manisnya persahabatan. Sayang, papanya itu suka sekali membuat teman-temannya kabur duluan. Untung masih ada dua orang yang masih mau menetap menjadi temannya.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 31, 2019 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Sorry, DAVATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang