Jidi·s pov
Selamat pagi Korea.
Ini pagi terakhir gue ada di tanah gingseng, sebelum nanti tengah malam kembali ke negara asal; Indonesia. Meninggalkan liburan demi pekerjaan. Apapun sabet deh demi dapur ngebul. Apalagi sekarang gue sudah punya peliharaan baru. Istri maksudnya.Si dia yang barusan gue ceritain, masih berkutat dengan belanjaannya yang tidak lagi cukup masuk bagasi. Gue perhatiin aja, gak gue bantuin. Biar sadar, kalau kebanyakan belanja itu nyusahin. Hahahaha...
"Where will we go today?" tanya istri gue. Sastri namanya.
Gue mengangkat bahu, "anywhere, yang penting gak ada toko buat lo beli-beli lagi."
Sastri mencebik, "ish.. pelit banget lo sama istri sendiri."
"Belanjaan segitu kurang?" gue tunjuk kopernya dengan dagu, dan dia mengangguk polos. "Rampok gue, Sas. Rampok." Gue lempar dompet yang gue ambil dari saku padanya.
"Nice catch!" serunya sambil menggenggam erat-erat hasil tangkapannya. "Let's buy some make up for your little sissys!"
Ini yang gue suka dari si istri tengil. Dia nggak melupakan keluarga gue, keluarga dia juga sih. Ada aja oleh-oleh yang dia bawa. Gue curiga belanjaan berkoper-koper ini gak semuanya buat dia sendiri. Soalnya pas kemarin milih-milih dia bilang, 'I can see Naomy here,' sambil menunjukkan jaket pink padaku.
"Then, what about Ken?" tanyanya sembari menempelkan berbagai macam bedak di wajahnya yang kecil. "Dia suka makan kan? Kita belikan strew kaca yuk!"
Iyain aja dah. Gue mau mandi.
"Sayang! tunggu sebentar.." Sastri main nyelonong masuk ke kamar mandi saat gue hampir full naked.
"Lo mau ngapain?!" spontan gue menutupi area terlarang gue untuk konsumsi umum. Lupa! Gue udah married kan ya? Kenapa gue bertingkah seolah masih perjaka yang belum ternoda coba?
Sastri menceburkan bola-bola pink ke dalam bathup, tak lama kemudian seluruh air hangat yang tertampung disana berubah warna. "Waahh..." ucap gue norak.
"Pakai acara nutupin badan, norak lagi." Seloroh istri gue.
"Ini apa?"
"Udah mandi aja. Gue jelasin lo juga gak paham ntar." Setelah meremehkan pemahaman gue, dia keluar dari ruangan kecil ini.
Samar-samar gue mencium aroma mawar yang mulai semerbak. Oh... aroma terapi toh. Jadi tenang pikiran gue. Jadi lupa sama uang gue yang sudah dikoret habis. Pinter juga tuh istri. Gak rugi gue halalin lo, Sas.
***
Sastri memeluk gue erat saat ada seorang warga lokal yang bersedia mengambil foto kami. Kelihatan banget ini anak orang jarang dapat belaian. Nempel mulu kayak lintah.
"Thank You!" kataku setelah si warga lokal itu mengembalikan kamera Sastri. Tak lupa Sastri setengah membungkuk untuk memberikan penghormatan. Adat disini begitu amat yak. Kalau kebetulan lagi encok pegelinu gimana tuh?
"Sayang, makan yuk." Ajak Sastri dengan nada bicara di lemes-lemesin. Alah Sas, akal lo mainstream.
"Makan apa?" gue amati ekspresinya yang kujuk-kujuk serius itu. Dia kayaknya lagi mikir, makanan apa yang gue gak doyan-doyan amat.
"Kimchi yuk!" nahkan apa gue bilang. Dari sekian banyak makanan kenapa gitu dia milih menu yang rasanya bikin lidah getir disko? Mbok ya daging atau apa gitu. Suami lo ini sugih, Sas. Terima makan sayur fermentasi doangan lagi.
"Lainnya napa?"
"Sayang, lo tuh sudah kebanyakan makan daging. Sekali-sekali harus makan sehat. Ya?" Dia mengulas senyum di kata terakhir. Yah... kalau begini caranya mana bisa gue nolak? Manis banget ini cewek. Iiih! Gemes gue.
Singkat cerita, gue terhipnotis oleh Sastri dan sekarang kami berakhir di kedai pinggir jalan yang menyediakan berbagai macam makanan tradisional.
Gue tuh bingung. Kalau berduaan aja sama ini orang, prinsip-prinsip hidup gue kayak berubah begitu saja. Jadi ikutin alur dia gitu. Harusnya gue yang pegang kendali kan ya? Kalian tahu gak alasannya apa?
Contoh kecilnya, gue yang medit ini jadi iya-iya aja kalau si doi minta belanja dan gesek kartu gue sampai hampir lecet. Pernah loh itu. Gak bohong gue.
Padahal dulu waktu masih pacaran gak sebegitunya. Yaiyalah, orang kami LDR. Tujuh tahun pula. Mana bisa dia macam-macam sama card gue. Ketemu aja jarang.
Eh apa dia balas dendam yak? Astagfirullah... suudzon gue sama istri. Dosa. Dosa.
"Ngapa lo, Yang?" Sastri menatap gue heran. Jelas aja heran. Tanpa sadar gue elus-elus dada sambil beristighfar, pakai geleng-geleng pula.
"Hah? Tidak mengapa kok sayang.."
"Ck.. dusta." Komentar Sastri singkat. Si doi sedang mencampur beberapa lauk dan nasi putih. Di kocok sampai bunyinya tuk tuk tuk, baru berhenti. "Nih makan, yang. Enak ini.. kalau orang sini bilang makanan anjing."
Buset ini orang ngasih suami makanan anjing? Gimana ceritanya? Tega lo Sas jadi istri.
"Eh, Sas.."
"Hmm..." dia hanya bergumam sambil terus menikmati makanannya.
"Kok gue rasa, lo punya bakat matre ya?" yah... mulutt. Habis gue. Habis.
Bukannya dongkol, si istri gue malah ketawa sampai bingung nutupin mulutnya yang belum selesai ngunyah. "Gini..."
Udahan dulu ya :)
Jangan lupa tinggalin jejak ya pembaca budiman ^^
KAMU SEDANG MEMBACA
Seperti Berakhir
Художественная прозаSastri "Hidup gue sempurna. Sebelum bertemu lo." Jidi "Setidaknya gue bukan pengecut," walaupun sekarang semuanya berantakan.