Indonesia Raya!

23 2 2
                                    

Jidi·pov

Yang di media itu tempat tinggal gue sama istri gaes.. doakan biar ada rezeki buat pindah ke tempat yang luasan yaa. Biar si doi nggak sungkan buat gendut, makan tempat hahaha..

---

"Gini..."

Gue merengut, si Sastri mau ngomong aja lama banget. Gini gini gini. Penasaran gitu. "Cepetan dong mau bilang apa."

Doi sok mencebik gitu, "Ck. Eh bukannya gue niat kurang ajar ya. Tapi gue menemukan kenikmatan jadi cewek matre. Sama suami sendiri apalagi. Jadi, tahan ya boy."

Si tengil gila. "Tapi Yang, gaji lo kan lebih gedhe dari gue.." protes dong saya. FYI ya, pendapatan Sastri lima kali lipat dari apa yang gue hasilkan. Tapi ekting melarat mulu dia mah.

"Apa hubungannya? Gue cari kebahagiaan, Yang. Bukan uang." Semprotnya sambil mengunyah makanan cepat-cepat. Kepedesan lo Sas? Gue sodorkan segelas air putih dan dia meneguk dengan cepatnya.

"Yaudah. Kalau gitu ntar balik lo gantiin tuh duit tiket." Niat gue mau mengancam, dia malah mengeluarkan card gajian miliknya. Diserahkan ke gue. Lah ngapa?

"Tuh bawa aja. Buat lo dah. Tapi ini buat gue. Milik gue." Dia menggenggam erat card gue. Lalu si tengil lanjut melahap makanan anjingnya.

Disini gue paham apa yang dia mau. Dia ingin mengandalkan gue. Duh sayaaaang. Apapun akan gue lakuin buat lo. Asli. Gue bener-bener menang banyak sejak pacaran sama Sastri. Udah cantik, badan oke punya, pinter, kaya, sosialnya mantab, apalagi ibadahnya... Duh Sas, rugi lo kawin sama gue.

Maafkan Jidi Ya Allah, telah menganiaya makhlukMu.

Selepas makan

Gue ngekorin istri keliling toko demi cari oleh-oleh buat para sanak bersaudara di Indonesia. Dikit-dikit gesek. Dikit-dikit kresek di tangan gue nambah.

"Sayang, beli ini yuk buat Kakung." Sastri menenteng sepasang sandal berwarna ungu tua. Dilihat dari bentuknya kayaknya nyaman tuh sandal. "Gak mahal kok, gpp ya?" senyum lagi. Udahlah gue ngangguk aja.

"Gue dong mau atu." Sastri senyum.. ah bidadari gueeee...

Total belanjaan ada kali kalo sepuluh kresek. Eh paper bag  sih namanya. Isinya jangan ditanya. Apalagi habis berapa..

Tapi tenang, gue nggak akan bilang bangkrut lagi. Nggak. Gue bahagia banget sekarang, ternyata begini rasanya ngehabisin duit.

Si Sastri tuh, berhasil buka pikiran gue. Bahwa perhitungan itu nggak baik. Apalagi sama istri sendiri, ya iyalah itu si tengil kok marketingnya oke ya..

Sedikit demi sedikit, semenjak gue masuk ke dunianya, gue menemukan sisi lain dari kehidupan. Banyak kebahagiaan yang datang dari percabangan jalan, persepsi asing, dan cinta yang lain.

Jangan kira gue selingkuh! Nggak punya nyali saya. Seorang Endang Sastriwati, istri gue, terlalu sempurna untuk diduakan.

Maksud gue cinta yang lain itu..

Saat gue baru menyadari bahwa berbagi bisa membuatmu merasa sangat merindukan senyum mereka. Dan Sastri udah nemuin itu jauh sebelum gue.. see?

Troli koper yang dipakai si tengil udah penuh. Kabar buruk, gue harus pindah kelas. Kapasitas bagasi udah overload. Manteb nggak tuh?

"Sayang, tas selempang gue jangan keikut ke bagasi ya. Ngamuk gue."

Elahh, "emang isinya apa sih?"

"Skincare."

What? sempat apa pakai gitu-gituan selagi flight? kecolok pas turbulen mampus lo Sas..

Duh istri sendiri gue sumpahin. Astaghfirullah... dosa. Jangan lo tiru ya Sas. Jangan durhaka sama gue ya, istri solekahku.

Yang diomongin ninggalin gue sendirian di dekat gate. Kelakuan.

"Sas!"

Dia berhenti, nengok ke gue, "napa?"

"Tungguin Abang dong Neng. Jangan main tinggal aja. Kalo gue ilang gimana coba?"

"Yaudah cari lagi."

Buset lo Sas. Gampang banget ngomong gitu. "Asal lo tau ya Yang, manusia kayak gue ini cuma 1:1000 di dunia. Nyesel ntar lo. Asli."

"Beruntung loh lo bisa nikah sama gue. Asli."

Tidak terbantahkan pemirsah.

****

Landing!

Akhirnya sampai juga di Suta. Gue lihat itu Sastri muka bantal banget. Jadi nggak tega. "Istri gue capek banget ya?"

Dia ngangguk.

"Mau naik troli?"

Doi ngangguk.

"Yaudah naik."

Nggak pakai malu dong yes... itu si tengil langsung nyempil diantara koper-koper. Nyandar. Merem. Bagus bat, tinggal gue dorong-dorong sampai nemu taksi.

Hidung si istri gue kembang kempis trus agak merah gitu. Kedinginan apa ya? Hujan gini. Tapi apa daya, gue suka lihatnya. Jadi imut gitu, ilang semua aura tegesnya.

Gue jalan aja, hampir sampai ke lobbg depan. Kejutan yang bikin gue bersyukur banget, ternyata ada Naomi, adek gue datang menjemput. Betapa bahagianya.

"Udah lama kamu dek?" tanya gue sambil ngajuin tangan biar disalim sama dia.

"Baru aja. Mbak Endang kenapa tuh?" tanyanya sambil mendapati Sastri ngucek-ngucek hidungnya, lalu bersedekap erat-erat. Beneran kedinginan dah tu.

Oh iya, dari zaman jebot, si Naomi nggak mau manggil iparnya Sastri. Selalu Endang.. katanya lebih ngena kesan ndesonya. Lebih seru.

Iyain aja udah ya, lagian Sastri bahagia-bahagia aja dipanggil gitu.

"Sama siapa kamu kesininya?"

"Seorang diri. Yuk dah."

Gue langsung gerak cepat, gue pengen sampai ke mobil sesegera mungkin. Gerah coy. Kumel rasanya.

Ngomong-ngomong, selamat bertemu kembali, Indonesia Raya!

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Dec 13, 2018 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

Seperti BerakhirTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang