Writing Challenge hari kedua ini tentang perkataan orang tentang saya yang tak akan pernah dilupakan.
Sejujurnya saya tak menemukan perkataan siapa pun secara khusus tentang saya yang tak bisa dilupakan. Baik yang bersifat positif atau negatif. Apa karena saya terlalu cuek ya? Bisa jadi.
Sejak kecil sampai kuliah semester awal, saya selalu "mendengarkan" perkataan orang lain. Saya mengiakan, lakukan, terapkan, dan akhrinya tertekan.
Ternyata ketika terlalu peduli apa kata orang, saya merasa seperti menjadi orang lain. Bisa dipastikan ketidaknyamanannya saat kita berbuat sesuatu yang enggak kita banget.
Sebagai contoh, dulu saya tak suka bermain sepak bola--sekarang juga masih sama sih. Beberapa teman berkata "main bola dong, masa anak cowok ga suka bola!? Jangan-jangan sukanya main bola bekel?"
Merasa diremehkan, akhirnya berusaha untuk membuktikan bahwa saya juga bisa bermain sepak bola. "Tinggal lari dan nendang doang, apa susahnya?" pikir saya.
Ternyata saat bergabung dengan tim kesebelasan abal-abal saya malah disuruh keluar lapangan. Jadi anak gawang saja katanya.
Sebagian teman saya yang berkata kalau cowok itu harus bisa main bola, seketika berubah pendapat, jadi meledek.
"Alah, lumpat ngageboy kitu rek maen bola!" (Alah, lari lenggak-lenggok begitu mau main bola!)
Mendengar perkataan itu, beuh sakitnya sampai di hati. Daleeem banget. Meski tak menyangkal memang demikian adanya.
Saat saya bercermin memang tak ada tampang pemain bola, adanya tampang pedagang tahu bulat di lapang bola saat pertandingan antarkampung berlangsung.
Ditahuan, ditahuan, ditahuan!
Tahu bulat, lima ratusan, ngeunah cooooy!
***
Dalam hal pakaian dan gaya rambut pun saya pernah terlalu peduli pada komentar orang lain. "Terlalu culun, cupu, kampungan," kata sebagian teman mengomentari penampilan saya.
Kemudian saya pun berusaha untuk menjadi keren seperti yang mereka bilang. Celana jeans ketat, sobek di bagian lutut. Kaos oblong, dan rambung gondrong yang dari jauh nampak seperti helm.
Lagi-lagi ada perasaan yang tidak nyaman. "Ini bukan diri saya sebenarnya," lirih hati yang merasa dibohongi oleh diri sendiri.
Saya pun kembali bercermin. Nampak wajah yang tak asing muncul di kaca lemari itu. Seorang aktor internasional yang sudah tak asing lagi bergaya mengikuti gerakan saya. Ya, saya seperti Mr. Bean yang berusaha menjadi rockstar.
Setelah berkali-kali membodohi diri dengan menjadi seperti yang orang lain katakan, akhirnya tiba pada muara ketidakpedulian. Acuh tak acuh apa kata orang, selama apa yang dikerjakan itu positif, percaya diri adalah pilihan saya.
Dengan begitu akhirnya saya menemukan sisi lain dari laki-laki yang sering dipandang sebelah mata. Bahkan tak dipandang sama sekali. Saya punya potensi lain yang belum digali dan dikembangkan. Salah satunya adalah kemampuan mempegaruhi orang lain.
Dengan wajah polos, penampilan rapi, nada bicara sopan, mudah bergaul dengan siapa saja, saya sangat cocok jika berprofesi sebagai seorang penipu yang berkedok investasi. Bisa menghasilkan banyak rupiah dari profesi yang bermodal tampang dan kata-kata doang itu.
Bersyukur saya tersesat di jalan yang benar. Ada yang melihat potensi saya tadi, dan diajaknya saya mengaji.
Alhamdulillah dari hasil mengaji saya bisa mempengaruhi seorang perempuan berbekal potensi tadi. Sampai saat ini perempuan tersebut masih belum sadarkan diri. Sampai mau-maunya punya anak dua dari saya.
Cirebon, 12 Desember 2018
KAMU SEDANG MEMBACA
Tantangan Menulis 30 Hari
No FicciónIni adalah project untuk diri sendiri. Melatih dan mengasah keterampilan mengungkapkan ide dalam bentuk tulisan. Ternyata banyak sekali poin dalam menulis dari sekedar menulis sampai ruh tulisan. so, semoga istiqomah.