***
"Semua orang itu berhak bahagia. Lalu, jika dengan berpisah mereka akan bahagia, kita sebagai anak bisa apa? Kita nggak bisa menuntut mereka untuk selalu bersama, kita nggak ada hak untuk itu."
Ucapan yang keluar dari tuturan Ketua Pondok Pesantren putri Al Masykuriyah terus terngiang dalam benak perempuan beridentitas Nafisatul Arofah.
Meski melamun jadi kegiatan Nafisah, tangan halus miliknya tak berhenti membelai surai hitam sang adik yang dengan nyamannya terlelap di atas pangkuan Nafisah.
"Apa iya ucapan mereka benar-benar akan terjadi? Lalu, nanti Halim bagaimana?" batin Nafisah menatap wajah polos dari pemilik nama Muhammad Hilmi Al Musthofa.
Terhitung sudah lima hari Nafisah dan Hilmi menginap, ah- bukan.
Lebih tepatnya menumpang di satu-satunya ruang tamu Pondok Pesantren putri Al Masykuriyah, yang mana membuat para wali santri dan santriwati harus melepas rindu di Kantor Diniyah lama yang sudah tak terpakai.
Itu semua terjadi bukan karena Nafisah mempunyai kuasa disini, atay ia yang masih satu silsilah dengan keluarga Ndalem, atau ia yang berjuluk 'ning' di kalangan masyarakat.
Bukan.
Itu semua bukan jadi alasan.
Nafisah justru hanyalah putri sulung dari keluarga menengah ke bawah, hanya sebatas santriwati yang mengabdi pada Ndalem, juga...
seorang anak yang telah alami kekacauan dalam hatinya.
Maka, opsi ketiga itulah yang membuatnya berakhir menumpang di ruang tamu setelah ia membawa kabur Hilmi yang saat itu jiwanya tengah terguncang, juga sowan dadakan kepada Kyai atas masalah yang tengah ia hadapi dan cukup serius sampai-sampai buat Hilmi ketakutan menghadapi orang-orang, termasuk kedua orang tuanya. Kecuali Nafisah, Kyai, dan Bu Nyai.
"Hah...."
Helaan nafas kasar keluar dari pernafasan Nafisah, gurat lelah yang sedari tadi terletak pada dahinya kini semakin terlihat jelas, sudut matanya pun rasanya ingin mencair.
'Cerai.'
Kata itu jadi hal yang berlanjut pada lamunannya. Kata yang jadu ucapan final sang Mamah dan Ayah ketika Nafisah pulang untuk lihat keadaan Hilmi, yang mana berakhir membuatnya 'bersembunyi' dibalik kokohnya gedung pondok pesantren.
"Assalamu'alaikum."
Suara itu begitu familiar masuk dalam gendang telinga Nafisah, menarik atensinya untuk menoleh ke arah sumber suara.
"Wa'alaikumussalam, Mah," balas Nafisah ketika sang pengucap salam tadi mendekat, berlanjut dengan ia yang mencium tangan salah seorang yang beberapa hari ini berusaha ia jauhi.
"Mamah kenapa kesini?" tanya Nafisah.
"Mamah kesini tentu untuk menjemput kalian yang disembunyikan oleh Kyai kamu," balas Mamah dengan nada sarkas, membuat alis Nafisah menukik ke atas.
"Maksud Mamah apa?"
Belum sempat bilah bibir Mamahnya terbuka keluarkan suara, ucapan salam kembali terdengar dari pintu ruang tamu. Yang mana, salam itu berasal dari salah seorang lainnya yang berusaha Nafisah jauhi beberapa hari ini. Atau dalam kata lain,
itu adalah...
Ayah.
"Naf, bangunkan Hilmi! Bereskan barang-barang kalian! Kita pulang ke Jombang sekarang," suruh Ayah buru-buru setelah maju beberapa langkah dari pintu.
"Apa maksudnya?"
Bukan. Itu bukan Nafisah yang menyahut. Namun, Mamahnya yang gunakan nada tak terima.
"Mulai tuli atau bagaimana? Sudah jelas-jelas tadi aku mengajak Nafisah dan Hilmi untuk pulang ke Jombang sekarang. Bagaimana? Apa masih kurang jelas? Atau aku harus gunakan bahasa isyarat agar kamu paham?" sengit Ayah.
"Kenapa kamu suka sekali memulai pertengkaran sih?!" Nada marah terlontar membalas ucapan Ayah.
"Aku? Aku yang memulai pertengkaran?! Apa kamu nggak ingat siapa yang di rumah selalu mengeluh kekurangan ini itu?! Siapa yang selalu menolak ku ajak ke Jombang dengan alasan di Jombang semuanya serba susah? Ha?! Kamu, kan?!"
"Aku begini juga demi anak-anak dan kamu! Asal kamu tahu--"
"Tunggu!" Nafisah yang tadinya hanya diam mengamati perdebatan memuakkan kini turut andil bicara. Memotong ucapan Mamah, abaikan bila ia melanggar unggah-ungguh.
"Ayah dan Mamah kesini dengan tujuan yang sama, kenapa menjemput secara terpisah? Dan kenapa tak menjemput untuk pulang ke Surabaya?" tanya Nafisah beruntun, walau sebenarnya Nafisah bisa menebak sendiri apa alasannya, namun ia ingin meyakinkan dugaannya yang ia harap itu salah. Tapi--
"Sebentar lagi Ayah dan Mamah akan bercerai."
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Masygul (Completed)
Short Story"Semua orang itu berhak bahagia. Kalau dengan cara itu mereka bisa bahagia, kita bisa apa? Kita nggak ada hak untuk menuntut mereka." Lalu... . . "Kebahagiaan apanya jika mencarinya dengan menyakiti seseorang?"