***
"Ayah dan Mamah kesini dengan tujuan yang sama, kenapa menjemput secara terpisah? Dan kenapa tak menjemput untuk pulang ke Surabaya?" tanya Nafisah beruntun, walau sebenarnya Nafisah bisa menebak sendiri apa alasannya, namun ia ingin meyakinkan dugaannya yang ia harap itu salah. Tapi--
"Sebentar lagi Ayah dan Mamah akan bercerai."
--dugaannya seratus persen tepat sempurna.
"Eungh...." Lenguhan kecil terdengar dari mulut mungil Hilmi. Tak berapa lama kedua hazel coklatnya terbuka dan langsung disuguhi pemandangan yang membuatnya bersembunyi ketakutan dibalik punggung Nafisah.
"Hilmi, ayo, Nak kita pulang!" ajak Ayah sambil mendekat. Akan tetapi, Hilmi justru beringsut melindungi diri, bola matanya menelisik kesana kemari penuh awas, tubuh kecilnya bergetar penuh kaku.
"M-mbak...."
Suaranya pun begitu lirih bahkan hampir tak terdengar jika bibir mungilnya tak dekat dengan telinga Nafisah.Nafisah balikkan badannya, ingin menangis sebab khawatir akan kondisi Hilmi, tapi ditahan agar tak memperkeruh suasana.
Membelai kepala Hilmi juga berikan senyum lembut khasnya yang biasanya bisa tenangkan siapa saja bagi yang melihat, namun tak mempan pada keadaan saat ini untuk sang adik."Hilmi, Hilmi jangan takut. Ayah sama Mamah kesini cuma mau jenguk kita, mereka khawatir sama kita karena mereka peduli dan sayang sama kita," tutur Nafisah mencoba menenangkan Hilmi.
"Cuma jenguk kamu bilang? Mamah tadi kan udah bilang kalau Mamah kesini buat jemput kalian berdua." Mamah menyahut begitu tak terima, buat Nafisah menggeram kesal, tak habis fikir akan Mamahnya yang buat Hilmi semakin ketakutan.
"Nafisah tau Mah, tapi...." Nafish bingung harus bicara apa lagi kepada Mamahnya agar mengerti dirinya barang sedikit saja. "Pokoknya Nafisah dan Hilmi nggak akan ikut Mamah ataupun Ayah," final Nafisah.
"Apa maksud kamu? Ingin hidup sendiri begitu? Membiayai kehidupan kalian sendiri? Memangnya nanti kamu mau kerja apa?" Kini Ayah yang ambil mulut, gunakan nada sarkas pada tiap kata yang memusingkan Nafisah pada masalah ini.
"Assalamu'alaikum."
Perdebatan terhenti, semua orang menoleh ke arah pelaku ucapan salam, Kyai dan Bu Nyai. Setelah menyalami semua orang dalam ruang itu, Kyai dan Bu Nyai ajak mereka semua duduk agar emosi bisa sedikit tak menguar kemana-mana karna membicarakan hal yang cukup serius ini.
Belum sempat Kyai mengawali pembicaraan, nada ketus Mamah justru mendahului. "Maksud Kyai apa menyembunyikan anak saya disini? Saya bisa saja menuntut pesantren ini atas tindakan penculikan anak."Terkejut bukan main Nafisah mendengarnya, tak habis fikir akan sifat egois yang dimiliki Mamahnya. "Mah!" sery Nafisah mencoba mengingatkan bahwa tak seharusnya Mamahnya berbicara seperti itu.
"Apa? kamu mau ngelawan Mamah? Inget, Mamah ini orang yang ngelahirin kamu! Jangan ngelunjak kamu jadi anak, dipondokin biar tambah nurut kok malah gini!"
"Nafisah dan Hilmi ada disini karna kemauan Nafisah sendiri, Mah. Ini semua nggak ada sangkut pautnya dengan Kyai."
"Kalo nggak ada sangkut pautnya, seharusnya Kyai kamu udah hubungin kita sejak lima hari yang lalu!" sahut Ayah."Nafisah justru memohon pada Kyai agar tak memberi tahu Ayah, Mamah!" balas Nafisah dengan sengit, kesampingkan sikap tawadlu' yang selama ini ia terapkan sejak kakinya berpijak pada lingkungan pesantren.
"Sebenernya mau kamu apa sih, Naf? Ayah sama Mamah ini orang tua kandung--"
"Orang tua kandung yang selalu gila kerja, benar begitu bukan?"
Satu alis Nafisah terangkat, bibirnya sedikit bergetar habis memotong ucapan Ayahnya. Mamah yang mendengar ucapan Nafisah jelas menyanggah. "Ayah, Mamah kerja itu juga untuk membiayai kehidupan keluarga--""Kehidupan keluarga yang sama sekali tak ada kata harmonis di dalamnya, yang kini bahkan hancur karena kalian sendiri." Lagi-lagi Nafisah dengan cepat memotong, membenarkan fakta yang akan diucapkan, dengan suara yang terdengar menahan, menahan seluruh emosi yang mulai melebur lewat air mata.
"Keluarga yang tiap harinya terlukis pertengkaran, keluarga yang tiap harinya dihias penuh akan keegoisan masing-masing, dan juga... keluarga yang tanpa sadar perlahan membunuh mental sang anak."
Hilmi kini terus menangis ketakutan dalam pelukan Bu Nyai, ia menjadi paling takut untuk bertemua kedua orang tuanya dan orang asing, juga mendengar suara teriakan pertengkaran seperti saat ini, karena rasa traumanya yabg berawal dari pertengkaran kedua orang tuanya yang hampir tiap hari terjadi. Namun, hal itu tak menghentikan Nafisah yang memilih abau pada tiap sesuatu demi mencurahkan segala keluh dalam hatinya atas masalah ini.
Dengan tangis yang enggan berhenti, Nafisah berseru, "lihat, Yah, Mah! Lihat putra kalian, Hilmi! Yang sekarang menangis, dia ketakutan! Bahkan untuk sekedar menatap wajah kalian saja ia tak berani. Hilmi trauma, Yah, Mah! Jiwanya terguncang dipaksa melihat adegan pertengkaran, mentalnya rapuh tiap hari telinganya dicekoki teriakan dan berbagai umpatan busuk! Apa pernah kalian peduli akan hal itu? Apa pernah kalian tahu akan tiap perubahan keadaannya? Tidak, kan?! Kalian justru sibuk berdebat tentang keegoisan sendiri dengan alasan mencari kebahagiaan! Kebahagiaan apanya jika mencarinya dengan menyakiti seseorang?! Kebahagiaan apa, Yah, Mah?!"
Mata Nafisah yang tadinya bersitatap langsung dengan kedua orang tuanya perlahan bergulir ke bawah, menunduk guna turuti rasa enggan dalam melihat wajah kedua orang tuanya sekaligus sembunyikan emosi yang coba Nafisah reda walau gagal.
"M-mah, Yah... Hiks... Kalau memang jalan yang terbaik adalah dengan berpisah, tak apa. Sungguh tak apa, Yah, Mah hiks... Tapi Nafisah mohon, Nafisah mohon untuk tetap menjaga perasaan kami hiks... Nafisah mohon untuk tetap hujani Nafisah dan Hilmi dengan cinta dan kasih sayang, bukan hanya material duniawi yang fana saja. Nafisah dan Hilmi juga butuh perhatian Ayah dan Mamah, bukan harta yang selalu jadi topik favorit dalam perdebatan kalian. Hiks... Nafisah dan Hilmi juga butuh ketenangan, Yah, Mah. Hiks... Hiks... Hiks...." Dalam isak tangis, suara Nafisah terdengar melemah dan parau. Cairan bening yang bersumber dari kelenjar lakrimanya terus meledak terburu-buru dalam basahi pipinya.
Bersambung....
Satu part lagi, bersambung :)
Harap maklum dan harap dimaafkan kalau banyaj typo, soalnya asal salin aja tanpa proses edit mengedit😅🙏🙏
KAMU SEDANG MEMBACA
Masygul (Completed)
Cerita Pendek"Semua orang itu berhak bahagia. Kalau dengan cara itu mereka bisa bahagia, kita bisa apa? Kita nggak ada hak untuk menuntut mereka." Lalu... . . "Kebahagiaan apanya jika mencarinya dengan menyakiti seseorang?"