Amara Oceana

258 59 25
                                    

Tawa tidak selalu berarti bahagia. Terkadang ia memiliki definisi dengan warna yang berbeda-beda.

Tawa dan bahagia tidak selalu berada dan berdampingan pada garis yang sama. Karena sewaktu-waktu tawa bisa saja menjadi topeng penutup celah luka.

Tapi semua tidak sesederhana itu. Barangkali ada sebuah jiwa yang meskipun dia bahagia tapi tidak dapat menyalurkannya melalui tawa; dan akulah si empunya jiwa itu.

"Amara?"

Sebuah suara menyadarkanku dari lamunan yang entah sudah berapa lama mengudara, sehingga membuat wanita muda berjas putih itu harus menekankan nada panggilannya agar aku menoleh.

Dia berjongkok menekuk satu kakinya agar bisa berhadapan sejajar untuk bicara denganku. Wanita ini memiliki paras yang cantik dengan rahang tegas yang membantu mencerminkan kepribadian cerdas dan mandiri.

"Kak Dena gak bisa lagi jadi dokter pribadi kamu, minggu depan kakak beralih tugas ke Cagayan." Dia memberiku sebuah buku dengan sampul biru langit berukuran 6×8 cm itu padaku. "Ini hadiah perpisahan, disimpan baik-baik ya?"

Entah siapa yang menurunkan suhu AC yang terletak disudut kanan ruangan ini. Yang jelas, atmosfer panas itu merambat ke dalam mataku dan membuatnya berair. Aku menangis histeris kala itu, tanpa peduli banyaknya orang yang lalu-lalang sempat menatapku dengan pandangan yang berbeda-beda.

Aku benar-benar menyayangi Kak Dena, dia sangat berarti bagiku. Karena tanpanya, aku akan menjadi seorang Amara Oceana yang sendirian lagi.

"Jangan takut dan jangan sedih, Amara. Nanti yang gantiin Kakak buat jagain kamu itu ganteng banget ... mau ya?"

Aku tidak suka bujukannya, aku lebih suka ditemani kak Dena kalau bisa selamanya sampai aku sembuh atau ... setidaknya aku tidak ingin dia digantikan oleh siapapun. Aku menggeleng, dan itu membuatnya cemberut.

Aku menatapnya penuh permohonan sambil mempererat genggaman tangan kami yang saling bertaut, menyalurkan rasa yang entah. Aku tidak tahu saat ini aku sedang sedih, kecewa atau bahkan marah. Tetapi perasaan ini sangat membuatku tersiksa.

"Aku bener-bener gak mau kehilangan kak Dena," ucapku lirih, perasaanku sakit sekali.

Dia menatapku dengan sorot menyesal, "Kak Dena bener-bener harus pergi, Amara. Kalo kamu kayak gini, kakak bakal sedih."

Kini perasaanku berbalik menjadi penuh rasa bersalah. Mengapa aku begitu egois sehingga harus menghalanginya mengejar mimpi? Apa aku bisa bertanggung jawab untuk hidupnya jika kali ini dia tidak bisa pergi?

Aku memang egois. Benar kata teman-teman di sekolahku, aku memang manusia yang terburuk. Tapi, haruskah aku berbuat buruk kepada orang yang selama ini selalu berbaik hati padanya dengan tulus?

Aku mendongak, melihat kak Dena dengan senyuman manisnya yang tak kunjung pudar.

Dengan terpaksa, aku mengangguk. Membuatnya terlihat bahagia dan refleks memelukku dengan begitu erat, rasanya sangat nyaman walau air mataku sudah mulai bercucuran. "Makasih banyak, Amara. Kakak sayang banget sama kamu."

Aku juga, amat sangat.

Dan mungkin, itu adalah pelukan terakhir untuk kami. Karena setelah penerbangannya di keesokan hari, aku mendapati kabar bahwa pesawatnya terjatuh dan nyawa kak Dena tidak bisa diselamatkan.

Dan aku, menjadi Amara Oceana yang benar-benar sendirian.

Perfection and You [On Going]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang