Bab 2| Bapakman

5.2K 706 124
                                    

"Mengeluh, adalah salah satu bukti jika kita lupa mensyukuri nikmat yang Allah berikan."

-*-*-*-*-

[ B A P A K M A N]

............

Rumah kosong yang dibelinya dengan kerja keras lima tahun itu berdiri tidak terawat, semak belukar dan tanaman rambat tumbuh subur mengelilingi halaman. Tenang, tanpa satu pun penghuni. Sudah lama ia tak kembali ke tempat penuh kenangan ini.

Halim berdiri di ambang pintu, menatap lekat warna cat yang mulai memudar dimakan waktu. Dua bulan semenjak kepergian Rembulan, ia baru menyadari, betapa sangat sederhana rumah sebagai mas kawin istrinya ini.

"Nah, Mahvash. Kita sudah sampai di rumah, Nak. Rumah ibu dan bapak," ucapnya riang. "Tuh, itu foto ibu kamu waktu pernikahan kami. Cantik, kan?" Ia menunjuk foto berbingkai hitam dengan hiasan biasa yang digantung di dinding bercat biru, mengarah pada pintu masuk rumah. Terpajang di sana dua gambar insan berpakaian serba putih dengan senyum bahagia yang tak dapat diungkapkan.

Bayi mungil itu menggeliat, seolah mengerti apa yang dikatakan oleh bapaknya. Halim tersenyum senang, sekaligus pilu ketika pandangannya teralih pada Mahvash yang ada di gendongannya.

Pria itu mengasihani nasib anaknya sendiri.

Ia menahan tangis, menghirup napas dalam-dalam, melapangkan hatinya yang dipaksa untuk tegar.

Mulut kecil Mahvash bergerak-gerak, ia lapar.

"Kamu mau minum susu, Sayang? Sebentar ya. Bapak buatkan."

Satu tangannya mencari botol susu di dalam tas berwarna biru dongker yang ia kaitkan pada lengannya.

Tangan Halim terus mengaduk isi dalam tas, sampai mengeluarkan semua isinya di atas meja ruang tamu. Ia baru bernapas lega ketika barang yang dicarinya sudah ditemukan. Perlahan, Halim menidurkan Mahvash di atas sofa berukuran dua orang itu, lantas cepat-cepat pergi ke dapur. Bolak-balik ia mengecek Mahvash dan air yang sedang dimasak. Ternyata hidup sendiri memang tidak semudah yang ia bayangkan.

"Ini susu buat Mahvash. Anak bapak pasti sudah lapar, ya. Ayo mimik dulu, biar Mahvash cepet besar."

Dengan penuh kasih sayang dan hati-hati, Halim menyodorkan bagian dot pada mulut Mahvash. Sesekali juga menyeka susu yang keluar di bagian mulutnya karena bayi mungil itu terlalu bersemangat.

Wajah Mahvash terlihat tenang. Siapa sangka ketenangan bayi kecil ini akan mengalir juga pada bapaknya?

"Kamu cepet sehat, ya Nak. Cepet tumbuh besar. Bisa lari-larian sama Bapak. Cerita kegiatan sekolah kamu. Biar Ibu kamu juga senang liat anaknya yang cantik tumbuh sehat," katanya dengan suara gemetar. "Jangan lupa ibadah, Cantik. Ingat sama Allah, doakan ibu kamu sama Bapak, ya? In syaa Allah bapak bakal jadi superhero terkeren buat kamu." Halim meringis.

Ketika Vash hanya sibuk dengan botolnya, pria itu menepuk-nepuk pelan bagian bokong anaknya agar kembali tidur, diiringi solawat nabi yang biasa Rembulan senandungkan ketika mengusap-usap perutnya saat hamil.

Jadi anak yang shaliha, Nak. Agar ibumu bahagia di sana.

***

Tujuh tahun kemudian, ketika semua musim berlalu dengan cepatnya.

"Bapak, biar Vash bantu cuci piring, ya!" Gadis kecil berkerudung hijau dengan tambahan pita di tengah kerudungnya menarik kursi plastik kecil lalu berdiri di dekat Halim, hendak mengambil piring kaca berukurang sedang.

Jingga di Atas Kopi [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang