Bab 3| Anak Pohon Nangka

4.5K 672 123
                                    

"Katanya, madrasah pertama itu adalah ibu. Tapi, bagaimana denganku? Yang melihat wajah ibu saja tak pernah."

-*-*-*-*-

[A N P O N A]

............

Ia duduk dengan secarik kertas bertulis tinta hitam, ada gambar lingkaran jelek yang membuatnya jengkel pada lembaran itu. Namun, ia tidak bisa berbuat apa-apa kecuali mengakui kenyataannya jika, ya Mahvash memang tidak memiliki ibu, dan ia baru menyadarinya.

"Vash keluar dari pohon nangka! Kan dia gak punya ibu!" Semua anak di kelasnya tertawa. Vash hanya tersenyum kikuk. Ia bingung harus menanggapinya bagaimana. Itu sindiran, atau cuma bercandaan? Ada kesal tapi melihat teman-temannya tertawa, ia juga ingin ikut tertawa.

Semenjak ejekan itu menyebar. Tidak ada lagi satu pun anak di kelasnya yang mau bermain dengan Vash. Dua tahun kelas terakhir di sekolah dasarnya, terasa seperti tempat yang amat memuakkan. Vash malas pergi ke sekolah lagi.

"Nak, sarapan dulu, yuk? Bapak sudah buatin telur dadar pedas kesukaan kamu."

Halim meletakkan nasi pada dua piring yang tersaji. Muncul Mahvash yang masih mengenakan baju tidur dari balik gorden pintu dapur.

"Vash nggak sekolah hari ini. Boleh, nggak?" Ia bertanya takut-takut sambil berjalan mendekati Halim.

Kening pria itu berkerut samar. "Kenapa? Vash lagi sakit, Nak?" Punggung tangan Halim ditempelkan pada dahi Mahvash. "Nggak panas. Perutnya mual?"

Gadis kecil itu menggeleng pelan. "Nggak, Pak. Vash sehat. Cuma ... Vash lagi ...."

"Lagi?"

Gadis kecil itu memalingkan wajah saat Halim menatapnya lekat-lekat. Ia tidak ingin berbohong pada bapaknya. Tapi Vash juga tidak bisa bilang kalau ada yang mengejeknya di sekolah karena tidak memiliki seorang ibu.

Sayang, meski Vash sudah bersusah payah menyembunyikannya, insting Halim sebagai seorang ayah mencium ada hal tidak beres yang sedang anaknya rahasiakan darinya. Tangan kecoklatan Halim mengangkat tubuh mungil Mahvash. Satu-satunya cara mengecek sebuah kebohongan adalah dengan menatap mata lawan bicaranya.

"Lihat mata, Bapak."

Gadis itu menuruti perintah Halim."Ada yang kamu sembunyiin dari Bapak?" tanyanya dengan nada rendah.

Kepala yang tertutup kerudung pink itu menggeleng kecil. Tentu Halim tidak akan percaya semudah itu. Lah, wong tidak ada apa-apa kok mukanya cemberut gitu?

Tidak kuat mengangkat sang anak, Halim mendudukkan Mahvash di atas meja makan. "Terus kenapa dong wajah anak bapak jadi jelek gini pagi-pagi?"

"Vash kan belum mandi, Pak. Makanya jelek!" katanya berteriak ketus. "Niiih, di mata Vash masih ada beleknyaaa." Telunjuknya diarahkan pada sudut matanya yang lebar, lalu mencuil benda putih kekuningan di sana.

Bapak satu anak itu tertawa melihat tingkah Mahvash yang selalu bisa menghiburnya setiap waktu. Kekhawatiran tentang anaknya yang merahasiakan sesuatu perlahan menguap, meski masih ada sisa rasa penasaran karena rasanya aneh sekali mendengar Mahvash tidak ingin masuk sekolah.

Boleh jadi ia sedang terkena sindrom malas, akibat jenuh bersekolah seperti yang dirasakan kids zaman now.

"Jadi anak Bapak nggak mau masuk sekolah beneran, nih?" Halim menoel pipi gembul Vash yang masih sibuk membersihkan kotoran di sudut matanya.

"Emang boleh, Pak?"

"Boleh kok. Tapi Bapak jadi bingung deh."

Vash mengernyitkan keningnya sambil memiringkan kepala. "Kok Bapak bingung?"

Jingga di Atas Kopi [TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang