1

131 13 7
                                    

//28 Desember 2018//

Terus bersembunyi, menutup diri dari dunia luar. Berperan mati, walaupun hidup. Mekar dalam ketakutan yang terasa abadi.

Ketika ia pikir hidupnya mulai membaik, ia terbuai. Seperti tipikal manusia yang melupakan Tuhan saat kebahagiaan datang.

Ia lupa jika pena Tuhan tak akan berhenti sampai akhir zaman.

Saat boneka-Nya telah menyelesaikan skenario lama, maka Dia akan memberikan skenario yang baru.

Skenario baru itu kini dimulai.

Semua berawal dari atensi penuh yang ia berikan kepada anak berpakaian kumal yang berdiri di depan gerbang kediamannya. Ia pikir salah seorang pelayan pasti akan menghampiri anak itu, namun setelah hampir sepuluh menit berlalu, anak itu masih berdiri di tempatnya. Lantas lewat sambungan telepon, akhirnya ia mengambil tindakan.

"Rottwel, seorang anak terus berdiri di depan gerbang rumah kita."

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Lavienne Whilshere.

Baginya menyandang nama bangsawan bukanlah anugrah yang patut ia syukuri.

Seperti bagaimana ia ingin membuang nama 'Whilshere', seperti bagaimana ia ingin membuang masa lalunya.

- - - - - - - - - - - - - - - - - - - -

Cemilan dan minuman hangat, juga mantel telah ia siapkan di atas meja. Atas permintaan sang nona yang berbaring di sebuah ruangan yang berbeda, Rottwel menjamu tamu cilik tak diundang dengan tangannya sendiri.

"Selamat sore. Duduklah," sapanya sebelum memulai pembicaraan.

"Te-terimakasih." Anak itu membalasnya dengan canggung.

"Siapa namamu?" tanyanya.

Anak itu menggerakkan bibirnya demi mengucapkan beberapa patah kata. "Na-namaku Shiloh, Tuan." Suaranya mencicit, mirip seperti tikus kecil yang terjepit di dalam jebakan.

Rottwel menatap lekat-lekat wajah anak itu. Agaknya ia bingung dengan kemiripan yang dimiliki oleh Shiloh dan nona muda yang disembunyiknnya.

Shiloh memiliki rambut coklat yang tebal seperti nonanya, alis penuh yang sedikit melengkung seperti nonanya, kelopak mata runcing dengan bola mata biru seperti nonanya. Ia juga memiliki tonsil mungil seperti nonanya, gigi kelinci yang mengintip malu di celah bibirnya -itu juga seperti nonanya-, dan kulit tan hangat yang juga seperti nonanya. Bila mereka disejajarkan, mungkin orang-orang akan mengira mereka adalah pasangan ibu dan anak, atau kakak dan adik.

"Tuan?"

Rottwel mengerjabkan matanya sekali. "Nah, aku melihatmu berdiri di depan gerbang rumah cukup lama-," ujarnya. "-dan itu terlalu dangkal untuk disebut sebagai sebuah kebetulan." sambungnya.

"I-itu ...." Shiloh bergumam.

"Ku harap kau tidak keberatan mengatakan maksud kedatanganmu, atau kedatanganmu akan menjadi sia-sia." ujar Rottwel dengan senyum simpul di bibirnya.

"U-uh ... itu ..."

"Itu?"

Shiloh menundukan wajahnya dalam-dalam. "Tu-Tuan Levi ... memintaku untuk membawa No-nona Lavienne kehadapannya."

Pernyataan itu berhasil mengejutkan Rottwel. Untungnya keterkejutan itu berhasil ia atasi dengan cepat sebelum Shiloh menyadarinya. "Maaf Shiloh, tak ada yang bernama Lavianne di sini, bahkan aku juga tak mengenal 'Tuan Levi' yang kau sebutkan tadi."

AnxiousTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang