EINS

84 12 6
                                    

"Sayang, menurutku sikapmu sendiri yang membuatmu muak"

-Anonym-

Jakarta, 2016

Hidup itu seperti roller coaster, kadang di atas kadang di bawah. Aku tidak tau lagi apa yang sudah terjadi di hidupku, semenjak aku mengidap penyakit Dissociative Identity Disorder beberapa tahun silam. Aku menyesal, menyesal sudah berada di bumi. Bumi yang menyebalkan, yang hanya saling menyalahkan. Sekarang aku sedang berdiam diri di dalam ruang kosong, gudang belakang rumahku. Hanya malam hari yang gelap tanpa teman. Aku yang baru bisa menikmati hidup hanya pada saat ibu tua yang ada di rumahku sudah terlelap saja. Bermain dengan benda tajam itu lagi, menunggu cucuran darah merah keluar dengan segarnya. Ini percobaan bunuh diriku yang kesekian kalinya. Entahlah, aku hanya muak.

Baju putihku kini sudah lumayan kusam, hasil dari berguling-guling menahan sakit perutku yang rasanya sudah sampai ke kepala sembari memegang cutter gemetaran. Shreet... bau darah segar itu menyeruak seruangan. Kututup mataku hingga terlelap sambil sesekali terisak. Sialan, ini gagal! Aku masih belum mati juga.

🌻🌻🌻

Bandung, 2014

Namaku Azura, Azura Wardhana yang sedang mencoba melepas nama belakangnya, nama ayah. Aku kelahiran 20 Januari tahun 2002. Hobiku diam di kamar. Melamunkan mimpiku yang selalu ditertawakan. Hari ini hari ulang tahunku yang ke-12 tahun. Sendiri. Ayah baru saja meninggalkan kami dan pergi bersama istri barunya yang baru menikah 2 bulan yang lalu. Lalu bagaimana dengan ibu? Wanita pemilik nama Maria itu sedang berdiam diri di kamar bersama sakitnya yang coba ia tahan.

"Cheese cakenya satu mbak!" kataku sambil menyerahkan uang secukupnya.

"Ini kuenya dek, selamat menikmati!"
Tanpa menjawab apapun, hanya senyum yang mampu ku lengkungkan. Aku pulang dengan sedikit rasa bersalah meninggalkan ibu sendirian di rumah. Aku berjalan sendirian melewati beberapa trotoar seperti anak kecil yang tidak takut kalau-kalau ada penculik sembari bersiul kecil dan menendang beberapa kerikil.

"Zura...ra!" ku dengar teriakan ibu dari dalam bertepatan saat aku sampai di halaman rumah. Aku berlari ke dalam sebisaku.

"Bu, kenapa?" tanyaku makin khawatir melihat wajah ibu yang memucat.

"Ayah...ayahmu mana? Suami ibu dimana?" ibu mulai terisak.

"Sudahlah bu, Zura malas membahas hal yang tidak penting. Ibu seharusnya tidak usah mengingat-ingat pria itu lagi." aku menggenggam erat tangan ibu, berusaha untuk tidak ikut menangis.

"DIA AYAHMU! Akan selalu jadi ayahmu. Namanya ada di belakang namamu nak, dia ayahmu." ibu memukulku melampiaskan kekesalannya, dasar keras kepala. Aku harus kuat. Ku pegang erat-erat bungkusan kue yang ku beli tadi, lalu beranjak pergi.

"Terserah ibu sajalah! Zura lelah. Selamat istirahat bu. Semoga kau segera melupakan lelakimu itu." titahku berbisik ke telinganya.

Aku menangis, benar-benar kacau sekarang. Aku menyusuri kamarku sambil mencari lilin kecil dan korek yang biasa ku simpan di laci meja belajar. Aku dapat! Langsung ku nyalakan lilin itu, hanya satu lilin yang mewakili 12 tahun umurku sekarang. Dua belas tahun dengan pendewasaan yang begitu luar biasa. Sangat matang.

"Selamat ulang tahun Azura! Semoga kau temukan kunci bahagia yang entah dimana kau letakkan. Dimana sebenarnya kau simpan? Apa ada di bawah kolong tempat tidur? Di dalam kolam ikan? Atau mungkin tersembunyi di hati ibumu? Semoga ketemu segera." aku mulai berbicara sendiri. Liburan kali ini sudah selesai, saatnya kembali ke sekolah tempat dimana aku ingin menghilang. Percuma saja, itu tidak akan berhasil. Aku siap, siap berangkat dan pulang sekolah sendirian lagi. Aku selalu sendirian rupanya.

Suicide DreamsWhere stories live. Discover now