"Bahagia itu ada di tangan pemiliknya, bukan penontonnya."
~Ibu~
Kedua tapak kaki pria itu dihentak-hentakkan ke lantai rumah sakit, matanya yang ia tutup bersembunyi di balik telapak tangannya. Menunggu di sebuah kursi besi di depan ruang Unit Gawat Darurat. Sejam dua jam menunggu hingga dokter keluar dari ruang pemeriksaan. Refleks ia langsung berdiri dengan sigap.
"Bagaimana, Dok?" cecarnya dengan wajah yang berusaha ditenang-tenangkan.
"Apakah anda keluarga pasien?" itulah bahasa dokter pada umumnya.
"Bu..bukan, Dok.. ahh dia hanya punya saya, Dok" jawab Satya dengan beberapa paksaan.
"Ya sudah... Begini. pasien terkena depresi berat dan belum bisa di besuk, untuk lebih lanjutnya saya hanya dapat memberitahu pada pihak keluarga yang bersangkutan" jelasnya.
Tanpa menjawab apa-apa, Satya hanya terdiam dan kembali duduk sembari melihat ke arah pintu ruang UGD. Di dalam sana, ada wanita yang ingin ia jaga tanpa ia sadari, wanita yang ingin ia jadikan teman dalam tuanya nanti. Ia mulai menerka apa yang sebenarnya terjadi di sini.
🌻🌻🌻
Gadis kecil dengan gaun putih yang ia kenakan, berlarian di taman belakang rumah sambil tertawa. Berkejaran dengan gelembung balon yang barusan kutiup, diikuti dengan tawa bahagia dari ayah dan ibu. Keasikan berlari kadang membuatku tidak memerhatikan jalan di depan, hingga aku jatuh dan di tangkap tepat oleh ayah.
"Hati-hati sayang.. sampai luka kan" kata ayah sambil melihat kakiku yang sedikit tergores oleh rerumputan, mendengar itu ibu sedikit meringis.
"Ayah, ibu. Kenapa ayah dan ibu panik? Padahalkan Zura cuma luka sedikit saja?" tanyaku dengan wajah sepolos mungkin.
"Karena ayah sama ibu sayang sama kamu, sayang. Jangankan tergores, kalau Zura sampai menangis ayah dan ibu yang paling duluan maju jadi pembelanya Zura." Kata ibu yang tiba-tiba datang menghampiri ayah sambil tersenyum cerah.
"Janji, yah? Bu? Janji ya sama Zura?" responku sangat bersemangat.
"Iya sayang, ayah dan ibu janji akan selalu ada buat kamu kapanpun kamu butuh kita pasti ada" jawab ayah sambil mengelus indah rambut panjangku.
"Janji!" aku menulis tanda silang di baju ayah dan ibu menggunakan jariku. Lalu ayah dan ibu mengelus rambutku kembali, kali ini dengan perasaan gemas mereka.
Aktivitas kembali seperti semula. Ayah yang kembali untuk mencuci mobilnya, ibu yang kembali menyiram tanaman di halaman rumah, dan aku yang kembali berimajinasi dan bermain balon tiup sendirian. Kami sibuk sekali, sibuk merancang kebahagiaan kalau kata ayah.
"Nanti kalau Zura sudah besar, jangan lupa sama ayah sama ibu. Jangan sombong, harus baik sama semua orang. Terus harus terus bahagia, apapun yang akan terjadi kita harus bahagia." Kata ibu saat kita istirahat di teras rumah sembari menikmati teh hangat buatan ibu.
"Kalau tidak bahagia bagaimana bu?" tanyaku dengan rasa penasaran.
"Hmm.. ya kalau tidak bahagia ya dirancang"
"Dirancang? Maksud ibu?"
"Seperti rumah, dirancang bangunannya mau seperti apa, bahannya dari apa, dan siapa yang andil di dalamnya. Kalau semuanya sudah selesai dan hasilnya tidak sesuai, apa kamu tetap akan tinggal dirumah itu?" tanya ibu serius.
YOU ARE READING
Suicide Dreams
Teen FictionApa kalian pernah membenci sesuatu? Hati-hati memperlakukan benci, ia jahat. Bisa berubah jadi cinta yang memiliki atau bahkan kehilangan. Jangan sampai kalian kehilangan warna-warni dari hidupmu. Azura Wardhana.