#1 Keputusan Abah

153 8 1
                                    


Musim hujan di Semarang.

“Kurang berapa juz lagi, Nduk?” Tanya Abah setelah makanan di meja kami tandas.

Aku yang sejak tadi menunduk sedikit mengangkat kepala. Segan menatap mata Abah.

“Pangestune, Bah. Insyaallah sekedik melih.”

“Setelah khatam, kamu langsung boyong saja, ya. Kemarin sebelum kamu pulang liburan, Kiai Sholeh datang kemari, beliau bilang, Gus Wafi, putra sulung Kiai Sholeh yang kuliah di Yaman itu akan pulang akhir tahun. Hanya satu bulan di rumah. Uminya kangen. Kalau sebelum akhir tahun kamu sudah khatam, itu lebih bagus. Akad nikah bisa dilaksanakan saat itu juga. Lalu kamu ikut diboyong ke Yaman.”

Aku yang tengah meneguk teh hangat tiba-tiba tersedak. Apa tadi Abah bilang? Gus Wafi? Akad nikah? Akhir tahun? Apa aku tidak salah dengar?

“Abah… kan Awa baru datang tadi sore. Mbok ya biarkan Awa istirahat dulu. Urusan itu bisa dibicarakan besok-besok. Kayak ndak ada hari lain saja.” Ucap Umi sebelum aku sempat mengendalikan diri saking kagetnya. “Ayo, Nduk, lekas masuk kamar. Kamu pasti capek habis perjalanan jauh. Nanti biar Umi sama mbak-mbak yang membereskan piring,” lanjutnya.

“Injih, Umi, Abah. Awa masuk dulu.”

Patah-patah aku berdiri, berjalan ke kamar. Hatiku masih berkecamuk. Mencoba mencerna perkataan Abah yang menyambar ulu hatiku barusan.

Akhir-akhir ini aku memang melihat perubahan besar dari sikap Abah kepadaku. Sejak aku mondok di Jombang 9 tahun lalu, saat itu aku masih kelas 1 Tsanawy, Abah tidak pernah menjengukku. Bahkan ketika aku sakit dan dirawat di klinik pondok selama 3 hari, Abah tetap enggan datang. Menelpon pun tidak. Umilah yang rajin setiap 2 bulan mengunjungiku di pesantren.

Lalu sejak tiga bulan terakhir, sejak aku bilang bahwa hafalanku akan segera rampung, Abah jadi rajin menelpon tiap Jumat. Abah terlihat semangat saat aku bilang liburan tahun ini akan pulang. Bahkan, di usianya yang sudah senja, Abah memaksakan diri menyetir dari Semarang ke Kudus, menjemputku di pondok tadi pagi. Apakah perubahan sikap Abah ini ada kaitannya dengan ucapan Abah barusan?

Belum sempurna pintu kamar kututup, dari arah meja makan lirih kudengar Umi berbicara kepada Abah, “apakah tidak terlalu cepat Abah dalam mengambil keputusan? Apakah Abah tidak ingin bertanya kepada Awa dulu bagaimana pendapatnya? Barangkali putri kita sudah punya rencana sendiri untuk masa depannya, Bah. Awa masih sangat muda. Rasanya masih wajar jika Awa ingin mewujudkan cita-citanya dulu untuk kuliah.”

“Apa lagi yang perlu dipikirkan, Mi? Wafi itu sudah jelas bagus agamanya, alumni pesantren salaf, pemahaman kitab kuningnya ngelontok, sudah S2 di Yaman, hafidz pula. Abah tidak punya alasan untuk tidak menerima pinangan Kiai Sholeh. Lagi pula hal baik memang harusnya disegerakan.”

“Tapi, Bah…”

“Abah ini Abahnya Hilwa, Mi. Abah tahu mana yang terbaik untuk putri kita!” ucap Abah tegas.

Aku mematung di balik pintu kamar. Jika Abah telah menyebut namaku secara langsung, bukan nama panggilan seperti biasanya, berarti keputusan Abah sudah tidak dapat diganggu gugat lagi.

Pipiku tiba-tiba menghangat. Dalam kultur keluargaku, pantang bagi seorang anak untuk membantah apapun keputusan orang tua—selama hal tersebut masih dalam koridor syariat Islam.

Kilat menyambar. Gerimis turun di halaman. Di hatiku kesedihan sedang menggenang.

÷

Enigma RasaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang