Desember yang cerah. Pagi di Kediri baru saja menyapa.
Kang Syarif, salah satu santri khidmah di ndalem Kiai Sholeh, diutus untuk menjemput Gus Wafi di bandara siang nanti. Sejak Tsanawy, Kang Syarif dan Gus Wafi telah bersahabat dekat. Mereka bertemu saat sedang melakukan pendaftaran di salah satu pesantren salaf di Tuban. Setelah tamat, Gus Wafi berangkat ke Yaman untuk melanjutkan kuliah. Rencana awal hanya S1, namun karena kecerdasan yang dikaruniakan Allah kepada Gus Wafi sungguh di luar kapasitas manusia pada umumnya, pihak kampus menawarkan beasiswa penuh untuk melanjutkan S2 sekaligus memberi tempat kepada Gus Wafi untuk menjadi dosen. Syarif yang hanya putra seorang petani tidak berani mimpi muluk-muluk. Apalagi sampai menyusul sahabatnya kuliah ke luar negeri. Baginya, bisa tamat 'Aliyah saja sudah bejo kepayangan. Akhirnya, atas rekomendasi dari Gus Wafi, Syarif diminta Kiai Sholeh untuk membantu mengajar ngaji di pondok yang diasuhnya di Kediri, sekaligus khidmah di ndalem.
"Yakheer, ente jadi tambah subur saja, Syekh." Kata Syarif saat pertama kali melihat Gus Wafi keluar dari pintu. Syekh memang panggilan akrab Syarif kepada Gus Wafi sejak di pondok dulu. Wajah Gus Wafi yang kearab-araban, hidung mancung, kulit putih bersih, dan sentuhan cambang tipis adalah alasan mengapa Syarif menyematkan panggilan tersebut. Coba songkok hitam khas Indonesia yang biasa dikenakan Gus Wafi itu diganti dengan kopyah putih ala timur tengah, pastilah sudah mirip dengan Grand Syaikh Ahmad El-Tayeb dari Mesir itu.
"Kebanyakan makan nasi mandhi jadi begini, Yep. Haha." Jawab Gus Wafi sambil merangkul sahabatnya. "Abah Umi tidak ikut?" tambahnya sambil celingukan.
"Tadi pagi selepas ngimami salat shubuh, Umi tiba-tiba drop, Syekh. Mungkin beliau kelelahan. Sudah dua hari ini ndak doyan makan. Umi terlalu cemas memikirkan putra sulungnya yang akan menempuh perjalanan jauh dari Yaman." Jelas Syarif panjang lebar.
"Tapi Umi tidak kenapa-kenapa kan, Yep?"
"Insyaallah semua baik, Syekh. Tadi Kang-Kang juga sudah menghubungi dokter."
"Ya sudah, kita langsung pulang saja, ya. Aku ingin segera istirahat."
"Sendiko dawuh, Ndoro!" ucap Syarif sambil meletakkan tangan kanan di kening. Mirip komandan upacara.
"Bagaimana kabar Lail-mu?" Tanya Gus Wafi ketika sudah sampai di dalam mobil. Tatapannya menggoda.
Syarif yang tidak menyangka akan mendapat pertanyaan seperti itu kaget dan salah tingkah. Lail adalah gadis yang dipuja Syarif sejak masih mondok di Tuban. Konon, Syarif bertemu Lail saat acara haul masyayikh. Lail adalah pembeli aksesoris di stand bazar yang dijaga Syarif.Sejak pertemuan tujuh menit itu, lembar demi lembar kitab Syarif hanya dipenuhi coretan tentang nama Lail. Tak terhitung berapa banyak puisi yang sudah Syarif tulis untuk Lail. Tentang bagaimana jari-jari lentiknya mengambil uang dua puluh ribuan di dompet, tentang jilbab ungunya yang sedikit berkibar diterpa angin, tentang suara lembutnya saat mengucapkan terima kasih, tentang pandangan mereka yang sempat sekian detik beradu, juga tentang bagaimana kosongnya hati Syarif saat gadis itu beranjak pergi meninggalkan stand.
Seandainya bisa, Syarif ingin waktu dibekukan saat itu juga. Ia tidak ingin keindahan ciptaan Tuhan berlalu dari pandangan matanya begitu saja. Ia ingin menjadi bocah kecil yang digandeng Lail selama berkeliling bazar. Ia tak ingin kehilangan Lail. Ia ingin Lailnya.
Lail, langitmu apa kabar? Masihkan gemerlap dihiasi bintang? Jangan cemas jika kelabu, sebab mereka malu dengan paras ayumu itumu.
"Woee, malah bengong!" ucapan Gus Wafi seketika membuyarkan lamunan Syarif.
"Emm, nopo? Kabar? Eh, nganu, Gus, niku, sae-sae mawon." Timpal Syarif gugup sambil menggaruk kepala yang tidak gatal. Selalu begitu ketika dia membicarakan tentang Lail memang.
"Ente ini sudah cukup usia, Yep. Mau nunggu apa lagi to? Wis ndang ditembusi ke bapaknya sana. Mumpung belum keduluan orang!"
"Waduh, saya ini bukan siapa-siapa, Syekh. Saya ndak punya apa-apa. Saya ini..."
"Halaah, Ente iki koyok bukan santri wae. Ente kan punya Gusti Allah. Minta semua ke Allah, Yep. Insyaallah, semua akan dilancarkan dan dipermudah. Sudah ngerti alamat rumahnya, kan? Ayo besok-besok kuantar ke sana. Mumpung aku juga ndak punya agenda apa-apa di rumah."
Sepercik harapan memantik dalam diri Syarif. Dia yang selama ini hanya mampu mengagumi Lail dalam puisi dan doanya tiba-tiba mendapat keberanian berkat ucapan Gus Wafi barusan. Apa salahnya untuk mencoba? Pikirnya. Toh, diterima atau tidak itu urusan belakangan. Paling tidak Syarif sudah berusaha. Tentang hasilnya, Syarif serahkan sepenuhnya kepada Yang Kuasa.
"Bagaimana dengan rencana pernikanan Njenengan sendiri, Gus?" Tanya Syarif mencoba mengalihkan pembicaraan.
"Ndak tahu, Yep. Semua saya serahkan sama Abah dan Umi. Saya hanya dikasih tahu bahwa calon saya itu alumni Jombang dan sedang mengkhatamkan hafalan Al-Quran di Kudus. Namanya Layali Hilwa, tapi Abah-Umi sering menyebutnya Awa saat berbicara denganku. Putri semata wayang Kiai Syukur Semarang. Saya ketemu saja belum pernah. Hanya tahu di foto. Itu juga baru kemarin dikirimi Abah."
"Kalau sudah Kiai Sholeh yang milih pasti bukan sembarangan perempuan dong, Gus. Saya mah ikut bahagia saja. Eh, siapa tadi nama lengkapnya, Gus?"
"Layali Hilwa. Kenapa, Yep? Ada yang salah?"
"Mbo... Mboten kok Gus. Namanya bagus. Pasti orangnya juga cantik. Saya yakin ketika Gus Wafi menikah dengan ning Awa, malam-malam Gus Wafi akan dipenuhi dengan kebahagiaan dan kemuliaan, seperti nama kalian."
"Ah, dasar pujangga. Bisa aja mengait-ngaitkan sesuatu. Doakan saja semua yang terbaik ya, Yep."
"Saling mendoakan, Gus."
KAMU SEDANG MEMBACA
Enigma Rasa
Любовные романыkadang kita lupa, beberapa rasa tak dapat dipaksa, beberapa cinta tak harus bersama.