KISAH INI FIKSI SEMATA, BERSUMBER DARI IMAJINAJIS.
DIHARAPKAN KEBIJAKAN PEMBACA.NAMUN, TYDACK MENUTUP KEMUNGKINAN TERDAPAT BEBERAPA KESAMAAN DALAM KISAH NYATA KARENA MEMANG DISENGAJA.
***
Diana berpikir dirinya harus mendaftarkan diri audisi casting di rumah produksi. Di depan ibunya, ia tetap terlihat tenang padahal ketika dirinya sendirian di kamar, Diana mulai menggila. Ia berlari memutari kamar sembari mengutuk namanya berkali-kali. Kemudian berakhir dengan teriakan keras karena ia lupa kakinya terluka akibat luka tembak. Tindakannya kemarin tidak berterus terang kepada Kapolri Wijaya adalah sebuah tindakan fatal. Informasinya sangat dibutuhkan untuk membantu penyelidikan.
"Kamu nggak ada niatan mau jenguk Eva?" Diana terperanjat di tempatnya mendengar suara lembut Julia.
"Gimana, Ma?" tanyanya setengah sadar. Pikirannya masih menerawang kejadian kemarin di kantor polisi.
Julia mengembalikan dua majalah bisnis yang baru ia selesai baca di bawah meja TV. "Katanya Eva memar di beberapa bagian. Tapi sepertinya dia trauma. Dia kelihatan lebih parah dari kamu yang pahanya ditembak," jelas Julia.
"Ah, iya. Boleh. Aku juga mau tahu kabar dia. Selama di rumah sakit aku nggak tahu perkembangan Eva gimana."
Keduanya korban. Diana korban keberingasan preman dan Eva juga sama. Terutama Eva mungkin akan memiliki trauma menaiki mobil van setelah ini. Atau trauma pulang sendirian.
"Semenjak makan malam kemarin kayaknya kalian berteman akrab."
Bukannya mengingat momen berharga bersama Eva, yang Diana ingat justru wajah menyebalkan Rendra saat ibunya menyebutkan kata makan malam.
"Iya sih." Diana mengembuskan napas. "Mungkin itu yang buat aku langsung mau tolongin dia tanpa pikir panjang."
Ibunya mengambil jatah duduk di sebelah Diana dan merangkul putri semata wayangnya itu. "Jujur aja, Di. Mama ngerasa nggak rela anak Mama terluka parah demi menyelamatkan orang lain." Julia memberi jeda pada kalimatnya untuk menyelipkan anak rambut ke belakang telinga Diana. "Tapi Mama bercermin ke diri Mama sendiri. Mama pasti juga lakuin apa yang kemarin kamu lakuin. Mama akan lebih menyesal kalau enggak bertindak. Ayah kamu juga sama. Dia orang yang nggak mengenal kata egois. Jadi tanpa sadar Mama dan ayah kamu sudah menurunkan sifat itu kepada kamu, Di."
"Maaf udah buat Mama khawatir sama aku. Ke depannya aku bakal lebih hati-hati." Lalu ibu dan anak itu pun berpelukan dalam dengan waktu yang cukup lama. "Mama inget kan, aku pernah hampir diculik di Moskow?"
Julia mengangguk. Walau tidak tahu detail kejadiannya tapi kengerian itu ia rasakan. "Mama inget, nggak pernah lupa."
"Aku takut waktu itu, pasrah dan cuma bisa nangis sama teriak. Aku tahu apa yang Eva rasain jadi aku mau nolongin dia."
"Kalau gitu, nanti malam ikut Mama besuk ke rumah Eva ya," usul Julia yang melepaskan pelukan di antara mereka berdua.
Dirasa pembicaraan ini cukup penting, Diana pun mengecilkan volume TV yang sebenarnya tak begitu fokus ia tonton. "Ayah nggak ikut? Bukannya Ayah baru pulang dari Brunei besok?"
"Ini khusus pertemuan antar perempuan," bisik Julia.
Diana mengangguk setuju. "Oke."
Keduanya pun menghabiskan sore di ruang keluarga. Memilih untuk menonton acara TV terkenal yang menyuguhkan tontonan berupa pemecahan solusi berbagai macam permasalahan, terutama permasalahan cinta. Walau banyak gosip yang beredar acara TV ini adalah settingan, tetapi Julia tidak bosan menontonnya dan Diana tidak bosan menemani ibunya.
KAMU SEDANG MEMBACA
The President's Savior [DALAM PERBAIKAN]
Action[READING LIST WIA INDONESIA 3] Semua remaja berbahaya! Namun bahaya yang sering mereka hadapi berputar di masalah membuat onar di sekolah, masuk perkumpulan tidak jelas yang sok keren atau berkelahi dengan sesama remaja lainnya hanya karena masalah...