Bukan Jodohku

176 8 0
                                    

“Arga ... apa kamu benar-benar mau pergi jauh?” Aku menatap wajah Arga dengan hati yang terasa nyeri.

Bagaimana bisa aku hidup tanpa Arga yang telah bertahun-tahun lamanya menemani dan mengisi hari-hariku?

“Iya, Shel, ini semua demi kebaikan kita. Tak mungkin juga kita bertahan.” Arga menatapku lekat.

Hatiku semakin nyeri bagai dihantam batu yang sangat besa.

“Apa nggak sebaiknya kita mencoba sekali lagi, Ga? Siapa tahu kita berhasil meyakinkan mereka.” Aku memohon pada Arga, berharap dia menyetujui permintaanku.

Tubuh langsung lunglai dan tulang bagai dilolosi satu per satu, ketika melihat Arga menggeleng. Dia tetap dengan keputusannya.

“Arga, aku sayang kamu, sudah terbiasa bersamamu. Aku akan ikut ke manapun kamu pergi, ke ujung dunia sekali pun.” Mataku sudah benar-benar perih, perlahan buliran bening menetes dari sudut mata.

“Shella ... kita nggak boleh egois. Hubungan tanpa restu itu nggak mudah, dalam suatu jalinan jika tanpa restu nggak akan bertahan lama.” Arga memegang erat tanganku.

Aku menunduk, tak mampu menatap wajah Arga. Air mata terus mengalir menganak sungai. Mengapa cintaku harus berakhir seperti ini?

“Jangan nangis lagi, Shel, aku paling nggak bisa melihatmu menangis. Percayalah orang tua kita tahu yang terbaik demi anaknya, jangan pernah membenci mereka. Meski kita tak bisa bersama, tapi tetap bisa bersahabat. Walau mungkin akan sulit ....” Pandangan Arga lurus ke depan.

Kemudian dia melangkah meninggalkanku dalam sepi. Aku menatap kepergian Arga dengan perasaan campur aduk.

“Arga, aku menyayangimu, entah kapan bisa membuang jauh namamu dalam hati,” gumamku setelah Arga lenyap dari pandangan.

***

Aku menyeka air mata yang menetes dari sudut mata. Peristiwa beberapa tahun lalu membuat hati tersiksa. Mengapa harus kembali mengingat memori yang telah lalu. Ini sangat menyebalkan!

“Sayang, kamu kenapa?” tanya Mas Rasyid suamiku.

Aku tersentak kaget ketika tahu Mas Rasyid sudah ada di sampingku.

“Ditanya, kok malah bingung? Ada apa? Bilang sama Mas.”

Aku menggeleng lemah, tak mungkin bercerita pada Mas Rasyid jika aku teringat Arga. Aku mendesah pelan.

“Apa kamu memikirkan Arga?” Mas Rasyid menatapku penuh selidik.

Aku terkejut. Kenapa Mas Rasyid bisa bertanya seperti itu? Apa dia tahu jika dalam hati ini masih tersisa rasa sayang untuk Arga? Ah, betapa bodohnya aku yang masih menyimpan nama orang lain di hati. Mas Rasyid sangat menyayangiku, bahkan dia tak pernah menuntutku menjadi seorang istri yang sempurna. Dia selalu sabar menghadapi sikap manjaku. Dia pun tak marah ketika tahu jika sampai sekarang belum bisa menyayangi dan mencintainya. Iya, pernikahan karena perjodohan orang tua, membuatku terasa tersiksa.

Betapa berdosanya, jika aku masih menyimpan nama Arga.

Aku menghela napas panjang.

“Kamu ... nggak marah, Mas?”

“Kenapa harus marah? Aku tahu kalian dulu berpisah bukan karena terpaksa, jadi wajar kalau masih saling mencinta.” Mas Rasyid menatap wajahku lekat.

Aku menunduk, tak berani membalas tatapan Mas Rasyid.

“Maafkan aku, Mas ....” Aku masih menunduk.

“Kenapa harus minta maaf? Kamu nggak salah, Sayang. Inilah resiko menikah dengan wanita yang tidak mencintaiku.”

Aku mendongak karena kaget dengan ucapan Mas Rasyid, tampak dia tersenyum kecut.

Mas Rasyid pasti tersiksa selama ini. Aku tak pernah melayani dengan baik, bahkan tak pernah menghargai dia sebagai suami. Istri macam apa aku ini? Hanya karena keegoisanku, orang lain menjadi korban. Tiba-tiba buliran bening menetes satu per satu.

Tanpa basa-basi aku memeluk Mas Rasyid dengan sangat erat.

“Maafkan aku, Mas. Selama ini nggak pernah menganggap sebagai suami. Harusnya aku bersyukur Allah telah memberi jodoh sebaik kamu, Mas. Aku berjanji mulai detik ini akan menghapus nama Arga dari hati, dan mengganti dengan nama Mas Rasyid. Bantu aku ....” Bahuku berguncang dengan hebat, air mata mengalir semakin deras.

Perlahan merasa Mas Rasyid membalas pelukanku dengan erat. Lalu terasa ada cairan bening menetes ke pundakku. Aku mengurai pelukan dan mendongak.

“Mas kenapa menangis?” tanyaku.

Mas Rasyid menggeleng lalu tersenyum. Mengusap kepalaku dengan lembut.

“Terima kasih.”

“Untuk apa?”

“Semuanya ... mau menerimaku menjadi suamiku saja aku bahagia, apalagi sekarang kamu mau bersikap baik dan mau belajar mencintaiku.” Mas Rasyid mencubit pipiku dengan gemas.

Aku mengaduh kemudian hendak membalas mencubit pinggangnya. Namun, Mas Rasyid berlari, aku mengejarnya.

“Mas tunggu, jangan lari. Curang, ih!” Aku merajuk.

Mas Rasyid berhenti kemudian terbahak.

“Dasar manja.”

“Manja tapi kamu suka, kan?” Aku menggodanya.

Mas Rasyid tersenyum lebar, manis sekali. Senyum yang tulus tanpa paksaan. Ah, kenapa baru sekarang aku menyadari kehadirannya sangat berarti.

Terima kasih Allah ... karena kehilangan Arga membuatku menemukan cinta sejati. Menyadari bahwa rencanaMu lebih indah dari yang kutahu.

“Mas Rasyid, aku akan selalu menyayangi dan mengabdi padamu.” Aku memeluk Mas Rasyid dengan sangat erat, rasanya tak ingin melepasnya.

****

--Selesai—

Kumpulan CerpenTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang